LMKN Dikepung Kritik: Dari Salah Kaprah “Indonesia Raya” hingga Tagihan Bergaya Preman

LMKN di Pusaran Kontroversi: Salah Tafsir Lagu Kebangsaan hingga Gaya Tagih ala Preman

banner 468x60

DiksiNasi, Jakarta – Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) kembali jadi sorotan tajam.

Bukan hanya karena wacana penarikan royalti atas lagu kebangsaan, tetapi juga cara mereka menagih royalti yang semena-mena oleh pelaku usaha.

Gelombang kritik datang dari musisi, pengamat hukum, hingga pengusaha hotel dan restoran.


Royalti “Indonesia Raya” yang Memicu Kemarahan

LMKN memicu kegaduhan ketika menyebut lagu kebangsaan bisa dikenai royalti.

Padahal, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sudah jelas menempatkan lagu kebangsaan dalam domain publik.

Artinya, “Indonesia Raya” menjadi milik seluruh rakyat tanpa hak eksklusif pihak tertentu.

“Lambang Negara, Bendera Negara, dan Lagu Kebangsaan tidak dilindungi hak cipta,” bunyi Pasal 42 huruf a.

Perlindungan lagu kebangsaan bersifat moral, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, dan tidak boleh menjadi komoditas niaga.

Mengaitkannya dengan kewajiban membayar royalti dianggap merusak makna simbol negara sekaligus mencederai rasa kebangsaan.


Musisi Gugat Pasal Pengelolaan Royalti ke MK

Enam musisi dari Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) menggugat Pasal 89 UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka juga menuding norma tersebut gagal memberikan kepastian hukum dan justru membuka jalan bagi pembentukan LMKN yang menyimpang dari mandat awal.

Anton Setyo Nugroho, salah satu pemohon, menilai LMKN menjadi alat tafsir liar pasca terbitnya PP 56/2021.

“Regulasi yang kabur ini merugikan pencipta dan pemilik hak terkait, sekaligus menabrak prinsip kepastian hukum,” tegasnya. Kamis, (14/08/2025).

Menurut para pemohon, kewenangan LMKN yang terlalu luas tanpa mekanisme kontrol jelas berpotensi menggerus hak ekonomi pencipta dan melanggar UUD 1945.


“Gaya Preman” dalam Menagih Royalti

Pelaku usaha pun ikut bersuara.

Ketua Umum PHRI, Haryadi B. Sukamdani, menyebut LMKN dan beberapa LMK menagih royalti dengan cara yang tidak wajar.

“Modelnya benar-benar ugal-ugalan. Tidak ada perwakilan di Lombok, tapi pengusaha hotel di sana tiba-tiba dapat tagihan,” ujarnya.

Haryadi juga menceritakan, tagihan bahkan penghitungan mundur sejak UU Hak Cipta berlaku, tanpa invoice atau kontrak resmi.

Banyak pengusaha akhirnya mematikan musik di hotel, restoran, atau mal untuk menghindari perselisihan.

banner 336x280