Menyambut Indonesia Emas dengan Keberanian
Tantangan bangsa memang besar: krisis moral, kepemimpinan, ekonomi, dan lingkungan masih menghantui.
Namun, sejarah Indonesia selalu membuktikan bahwa bangsa ini mampu bertahan bahkan di saat paling gelap.
Mochtar Lubis, dalam ceramah legendarisnya pada 1977, menggambarkan manusia Indonesia dengan sifat “munafik, feodal, takut bertanggung jawab, cenderung takhayul, artistik, dan berwatak lemah.”
Gambaran itu memang keras, tetapi jangan kita anggap sebagai vonis abadi.
Justru itu harus terbaca sebagai peringatan agar bangsa ini bertransformasi.
Bangsa besar tidak lahir dari sifat rapuh, melainkan dari keberanian mengakui kekurangan dan tekad untuk memperbaikinya.
Pendidikan harus melahirkan manusia yang merdeka dalam berpikir dan berani dalam bertindak.
Kepemimpinan harus tumbuh dari keteladanan, bukan dari warisan politik dinasti.
Deduksi untuk Jiwa Merdeka
Delapan puluh tahun kemerdekaan bukanlah usia yang pendek. Ini saatnya bangsa Indonesia berani menjadi tuan di rumah sendiri. Menjadi bangsa yang percaya diri menghadapi dunia, bukan bangsa yang sibuk menunduk pada kepentingan asing atau larut dalam pertengkaran internal.
Kemerdekaan sejati akan terasa ketika rakyat kecil bisa hidup layak, ketika hukum berdiri tegak tanpa pandang bulu, ketika pendidikan membebaskan pikiran, dan ketika ruang publik memberi tempat bagi suara rakyat tanpa ketakutan.
Maka, mari kita jawab pertanyaan “sudahkah kita merdeka?” dengan tekad baru: kita sedang menuju kemerdekaan sejati, dan jalan itu harus kita tempuh bersama. Perjuangan belum selesai, tetapi harapan tidak pernah padam.
Indonesia tidak sedang gagal, Indonesia sedang mendapat tempaan.
Dan sebagaimana baja, tempaan bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mendapat penguatan.
Komentar