DiksiNasi, Ciamis – Pilkada selalu menjadi ajang penting dalam demokrasi, di mana rakyat diberi kesempatan untuk menentukan pemimpin mereka.
Namun, apa yang terjadi ketika ajang demokrasi ini berubah menjadi satu pilihan saja? Inilah yang terjadi pada Pilkada 2024, termasuk di Kabupaten Ciamis, di mana hanya satu pasangan calon yang mendaftar.
Pilkada: Biaya Tinggi, Hasil Minim
Pilkada 2024 memakan biaya yang tidak sedikit pada pelaksanaannya.
Anggaran negara yang digelontorkan mencapai sekitar Rp 41 triliun, yang didistribusikan ke berbagai lembaga seperti KPU, Bawaslu, Polri, dan TNI. Berdasarkan data KPU, Pilkada serentak 2024 akan diikuti oleh 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota, dengan pelaksanaan pemungutan suara pada Rabu, 27 November 2024.
Namun, ada yang janggal. Setelah penutupan pendaftaran calon kepala daerah pada 29 Agustus 2024, tercatat ada 42 kabupaten, lima kota, dan satu provinsi dengan peserta calon tunggal.
Kabupaten Ciamis termasuk dalam daftar tersebut, hanya memiliki satu pasangan calon yang mendaftar.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Bagaimana mungkin, dengan biaya sebesar itu, hanya satu calon yang bisa dipilih?
Politik Tukar Guling dan Dampaknya
Fenomena calon tunggal ini, tidak lepas dari strategi politik tingkat pusat. Ada indikasi bahwa beberapa elit partai politik melakukan praktik tukar guling kepentingan.
Dalam praktik ini, partai politik yang sebenarnya memiliki calon kuat di suatu daerah, melepaskan tiketnya demi mendapatkan dukungan di daerah lain yang dianggap lebih strategis.
Praktik semacam ini berimbas pada konfigurasi partai politik di tingkat daerah, termasuk di Kabupaten Ciamis.
Partai-partai yang seharusnya mencalonkan kandidat sendiri, malah memilih untuk mendukung calon tunggal.
Akibatnya, publik tidak diberi banyak pilihan, dan demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi berbagai gagasan dan kepemimpinan, menjadi tereduksi menjadi hanya satu opsi.
Dampak Negatif Calon Tunggal terhadap Demokrasi
Modus memborong partai untuk menciptakan calon tunggal ini jelas mencederai nilai-nilai demokrasi.
Pilkada, yang seharusnya menjadi pesta demokrasi dan manifestasi kedaulatan rakyat, lambat laun berubah menjadi bencana demokrasi.
Demokrasi semu ini menghilangkan esensi pemilu sebagai instrumen untuk memilih pemimpin yang rakyat inginkan.
Secara tidak langsung, proses ini merampas hak demokratis rakyat dengan hanya memberikan satu pilihan calon kepala daerah.
Masyarakat jadi tidak memiliki variabel calon pemimpin lain, sehingga pilihan mereka sangat terbatas.
Kondisi ini menjadi indikator kegagalan partai politik dalam mencetak kader berkualitas yang siap maju dalam kontestasi politik.