DiksiNasi, Ciamis – Kritik keras terhadap praktik pelaksanaan Pokok Pikiran (Pokir) DPRD kembali mengemuka.
Tokoh pengawasan kebijakan publik dari Poros Indoor, Prima MT Pribadi, menyebut praktik yang terjadi saat ini sudah menyimpang jauh dari semangat konstitusional.
Pokir yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat, kini justru berubah menjadi “konversi anggaran” yang rawan terjadi penyalahgunaan.
“Tidak ada satu pun regulasi yang menyebut bahwa Pokir itu konversinya anggaran. Pokir bukan landasan program pembangunan. Ini kekeliruan yang terjadi terus-menerus dan menjadi kultur yang buruk,” kata Prima MT Pribadi dalam diskusi kebijakan publik, Selasa (10/06/2025).
Pokir Bukan Uang Tunai, Tapi Pikiran
Menurut Prima, definisi Pokir sudah jelas termaktub dalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 dan Permendagri Nomor 70 Tahun 2019.
Pokir adalah hasil penyerapan aspirasi masyarakat yang disampaikan oleh anggota DPRD sebagai bentuk representasi konstituen.
“Pokir itu pikiran, bukan rupiah. Bagaimana ceritanya tiba-tiba Pokir jadi angka nominal, jadi proyek, jadi bancakan anggaran?” ujarnya tajam.
Ia menggarisbawahi bahwa Pokir tidak memiliki posisi sebagai acuan wajib dalam perencanaan pembangunan.
Dokumen perencanaan tetap mengacu pada RPJMD dan RKPD hasil rancangan eksekutif, bukan titipan individual dari legislatif.
Penyimpangan Sistemik: Pokir Jadi Jatah Politik
Prima menilai, selama ini ada kesengajaan dan kekeliruan pemahaman, di mana memaknai Pokir sebagai hak mutlak legislator untuk mengatur anggaran.
Hal ini membuka ruang penyalahgunaan secara struktural.
“Yang terjadi hari ini, Pokir menjadi perantara untuk mengakomodasi proyek rekanan, bukan memperjuangkan aspirasi. Bahkan banyak yang menyusupkan usulan di luar dapilnya, demi proyek,” tegasnya.
Ia pun mendukung pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang sebelumnya menyebut bahwa banyak rekanan titipan menyusupi Pokir, dan uang proyek cair di muka.