Antara Hidup Musisi dan Nafas Pengusaha: Dilema Royalti Musik yang Tak Selesai

Musisi Tua, Royalti Tak Pasti Pengusaha Menjerit dengan Aturan tak Pasti

banner 468x60

DiksiNasi, Bandung – Tak semua musisi memiliki panggung sepanjang hayat.

Banyak yang redup seiring usia, tanpa jaminan finansial di masa tua.

Di tengah kenyataan pahit ini, royalti semestinya hadir sebagai bentuk penghargaan atas karya mereka yang terus diputar, dinikmati publik, bahkan dimanfaatkan untuk mendongkrak suasana bisnis di restoran dan kafe.

Namun realitas berbicara lain.

Banyak musisi yang dulu meramaikan industri musik nasional terpaksa menghadapi masa tua dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan.

Padahal, menurut UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan PP No. 56 Tahun 2021, karya musik yang digunakan untuk kepentingan komersial wajib dikenakan royalti dan dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Sayangnya, implementasi di lapangan sering menemui jalan buntu.

Bukan hanya karena kurangnya edukasi hukum, tapi juga karena adanya penolakan halus dari pelaku usaha.

Pengusaha Kecil: Tercekik di Tengah Pajak dan Royalti

Di sisi lain, pelaku usaha—terutama yang bergerak di sektor UMKM seperti kedai kopi dan restoran kecil mengaku kesulitan ketika harus membayar royalti musik hingga Rp120 ribu per kursi per tahun.

Ini belum termasuk beban lain seperti pajak restoran, retribusi daerah, dan biaya operasional yang terus naik.

“Kalau resto dan kafe itu hitungannya per kursi. Satu kursi Rp120 ribu untuk satu tahun. Misalnya cuma 10 kursi, itu sudah Rp1,2 juta setahun,” jelas musisi Armand Maulana, mengutip ketentuan dalam SK Menkumham No: HKI.2.0T.03.01-02 Tahun 2016.

Tak heran jika banyak pelaku usaha kini beralih ke musik tanpa hak cipta atau non-label agar bebas dari kewajiban membayar royalti.

Akibatnya, musisi lokal yang sedang mempromosikan karya baru kehilangan ruang publik untuk memperkenalkan lagu mereka.

“Kasihan, yang sekarang lagi promo, lagu-lagu mereka enggak diputar karena pemilik resto takut kena royalti,” ujar Armand.

Ketakutan yang Terlambat, Sistem yang Masih Abu-Abu

Musisi Badai eks Kerispatih menyayangkan bahwa kekhawatiran pengusaha baru muncul setelah muncul kasus hukum.

Ia menegaskan, kewajiban royalti seharusnya sudah dipahami sejak lama.

“Kalau khawatir, ya dari dulu. Memutar lagu di gerai usaha itu memang harus bayar performing rights,” tegasnya.

Badai juga menekankan pentingnya membedakan antara pelaku usaha besar dan mikro.

Ia menyebut UMKM memang perlu diberi perhatian khusus dalam penetapan tarif royalti.

“Kalau usaha besar, mereka mestinya bisa membayar. Tapi UMKM perlu diformulasikan ulang agar tidak ikut terbebani,” tambahnya.

banner 336x280

Komentar