Viral! Jerome Polin Bongkar Hitungan Salah Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta

Polemik Tunjangan Rumah DPR: Salah Hitung, Salah Ucap, Salah Persepsi Publik

Klarifikasi yang Tidak Meredam

Setelah gelombang kritik, Adies mencoba mengoreksi pernyataannya.

Ia mengatakan bahwa hitungan sebenarnya adalah Rp 3 juta dikali 12 bulan, bukan 26 hari.

Namun, klarifikasi itu tidak cukup menenangkan publik.

Kekeliruan awal sudah terlanjur menjadi sorotan, bahkan memperkuat kesan bahwa anggota dewan tidak memahami persoalan sehari-hari rakyat kecil.


Nafa Urbach dan Blunder Kedua

Polemik ini semakin meluas setelah anggota DPR dari Partai Nasdem, Nafa Urbach, ikut angkat bicara.

Dalam siaran langsung TikTok, ia mencoba menjelaskan alasan DPR menerima tunjangan rumah, salah satunya karena jarak dan kemacetan.

“Saya aja yang tinggalnya di Bintaro, itu macetnya luar biasa. Ini sudah setengah jam di perjalanan masih macet,” katanya.

Alih-alih mendapat simpati, keluhannya justru memancing amarah netizen.

Warganet menilai alasan tersebut tidak sebanding dengan kesulitan masyarakat yang harus berjuang dengan pendapatan minim.


Kritik Publik: DPR Kehilangan Sensitivitas

Ribuan komentar netizen membanjiri media sosial.

Banyak yang menilai wakil rakyat gagal memahami realitas masyarakat yang harus hidup hemat di tengah harga kebutuhan pokok yang terus naik.

“Ngitung gini aja nggak bisa, apa lagi ngitung anggaran,” tulis seorang pengguna X.

Komentar lain bahkan menyindir gaya hidup DPR.

“Kost Rp 78 juta per bulan itu bukan kost, itu villa mewah, Pak. Rakyat aja banyak yang susah cari kontrakan sejuta,” tulis akun @ayas_laras96.


Cermin Jarak antara Elite dan Rakyat

Polemik tunjangan rumah ini tidak hanya soal angka, tetapi juga soal kepekaan politik.

Kesalahan komunikasi dari Adies dan Nafa memperkuat anggapan bahwa DPR lebih fokus pada kenyamanan pribadi ketimbang perjuangan rakyat.

Jerome Polin hanya menjadi pemantik.

Yang sesungguhnya terjadi adalah kekecewaan publik yang semakin menumpuk terhadap wakil rakyat.

Kasus ini menjadi pelajaran bahwa di era digital, satu kesalahan ucap dapat berubah menjadi simbol ketidakadilan sosial yang terus menjadi perdebatan.