Part 104: Kematian Terhormat Diah Pitaloka

Mama Rohel gagal menawarkan Raden Dodo untuk menjodohkannya  dengan Diah Pitaloka

banner 468x60

Batu tulis yang berjajar membisu, menorehkan ajaran-ajaran kemuliaan.

“Kita ini bangsa besar yang pernah berjaya dengan peradaban ruhani yang tak tertandingi. Namun, kini semuanya tinggal kenangan yang terus diguar agar tak hilang dari ingatan,” gumam Mama Rohel dalam kesunyian.

Usai lawatan ke Keraton Surawisesa Galuh, Mama Rohel kembali ke Kampung Cikarohel.

Betapa terkejutnya ia saat mendengar kisah Diah Pitaloka seperti terulang di Negeri Kanjeng Prebu.

Seorang gadis bernama Paramitha memilih mengakhiri hidupnya dengan seutas kain.

Para santri tengah asyik membincangkan kisah Paramitha, mencoba mengambil pelajaran dari dua peristiwa bunuh diri itu.

“Bah, apakah sama nilai kehormatan antara bunuh diri Diah Pitaloka dan Paramitha? Membela harga diri dengan cara bunuh diri, bisakah disebut heroisme?” tanya Samsul.

Sambil menyeruput kopi khas Gunung Sawal, Mama Rohel menjawab,

“Jelas berbeda, Sul. Diah Pitaloka bunuh diri demi marwah Kerajaan Galuh yang tak mau dalam penindasan Majapahit. Ia memilih kematian sebagai bentuk kehormatan diri dan negaranya—ini jelas bentuk kepahlawanan. Sedangkan Paramitha, yang gantung diri di Kampung Lebak, melakukannya karena persoalan pribadi. Bisa jadi, Paramitha juga membela harga dirinya, Sul.”

Mendadak, petir menyambar.

Pagi ini, langit mendung, dan hujan rintik-rintik mulai membasahi bumi Kampung Cikarohel.

Tabik pun.

banner 336x280

Komentar