Kopi ini kiriman Ki Dengkul, santri Mama Rohel dari Kampung Pasirtamiang Cihaurbeuti.
Di antara santri yang lulus dari Pesantren Tegal Bentar, hanya Ki Dengkul yang sakti mandraguna.
Mama Rohel kembali menjawab, “Sejak 1930-an paham Wahabi masuk ke tanah Galuh, mendadak banyak kaum Padri yang berfatwa pusaka leluhur itu bid’ah dan musyrik.”
Belanda nampaknya menikmati fatwa ini.
Akhirnya banyak sekali pusaka, manuskrip kuno, dan artefak Galuh terbang ke negeri Belanda.
Semua terawat degan baik di Museum Leiden.
Tapi kita di Galuh malah memusnahkan pusaka leluhur yang secara teknologi pembuatannya pun sangat sulit.
“Eh, kita malah bukannya berterima kasih, justru menghancurkan,” tambah Mama Rohel.
Mama Rohel menarik napas dalam-dalam, saking sedihnya melihat akhlak orang yang tak menghargai pusaka.
“Seperti Keris Betok itu, selalu berguna untuk simbol syiar Islam. Kanjeng Prebu juga, setiap menyampaikan dakwah Islam, selalu membawa Keris Betok untuk membangun marwah keulamaan beliau,” tambah Mama Rohel.