DiksiNasi, Cikarohel – Prabu Borosngora di alam sana tampaknya tidak benar-benar beristirahat.
Ia terus mengalirkan keberkahan dan mendoakan para penziarah serta penduduk Panjalu agar dilimpahi rezeki.
Secara kasatmata, Mama Rohel mendoakan, tetapi sejatinya justru sang Prabu yang berdoa.
Mama Rohel, dengan penglihatannya yang waskita, dapat merasakan bahasa hisi—bahasa tanpa suara, tetapi penuh makna.
Ribuan doa menembus Arasy langit.
Di makam itu, Prabu Borosngora tampak sedih.
“Bagaimana aku bisa tenang menerima berkah dari doa-doa yang dipenuhi kepedihan? Mereka datang bukan membawa kebahagiaan, melainkan mengadu dan mencurahkan kesulitan mereka,” bisik suara Prabu Borosngora dalam keheningan.
Mama Rohel pun ngahiang, menembus alam ruh.
Tidak ada jarak antara dirinya dan Prabu Borosngora.
Prabu Borosngora terduduk merenung.
“Gusti Prabu, tempat ini telah berubah. Bukan sekadar tempat ziarah, melainkan kini menjadi aset ekonomi wisata. Setiap doa adalah harapan,” ujar Mama Rohel membuka percakapan.
“Iya, Mama. Namanya wisata religi, tetapi sesungguhnya mereka datang bukan hanya untuk menziarahi aku. Mereka menyampaikan kepedihan. Mereka bingung karena tidak ada lagi tempat untuk mengadu. Para pemimpin tak kuat mendengar keluhan rakyatnya. Ulama tak lagi menjadi sahabat umat. Banyak orang kehilangan arah di akhir zaman ini,” jawab Prabu Borosngora.
Di tengah keheningan malam, dialog mereka terhenti.
Mendadak, suara umpatan terdengar.
Suara-suara pemberontakan menggema.
Orang-orang melampiaskan protes atas nasib Situ Lengkong.
“Akan begini terus? Aku siap mundur dari jabatan kuwu jika nasib Situ Lengkong tetap tidak jelas!” ujar seorang kuwu saat menikmati kopi di warung sebelah.
Situ Lengkong telah menjadi sumber penghidupan bagi ribuan orang.
Ratusan miliar rupiah berputar dan menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun, revitalisasinya masih terkatung-katung.
Tiba-tiba, Mama Rohel muncul dari balik kegelapan dan bergabung di warung kopi itu.
Beberapa mata menatapnya tajam, penuh tanda tanya.