Agus menyebutkan, “Jurnalisme kita hari ini menghadapi tantangan besar dari clickbait yang sering kali mereduksi berita menjadi gosip dan isu-isu dangkal, bukan substansi.”
Solusi yang bisa media tawarkan adalah dengan menciptakan konten berkualitas yang unik dan tidak bisa terdapat di media sosial.
Inovasi dalam penyajian berita, seperti model bisnis Rappler yang memadukan teknologi, crowdsourcing, dan big data, menjadi contoh sukses yang bisa media-media lain adaptasi untuk bertahan di era disrupsi digital.
Mencari Keseimbangan Baru
Di tengah dominasi platform digital besar, media massa harus mencari cara untuk bertahan.
Salah satunya adalah dengan menciptakan konten berkualitas yang tidak terdapat di media sosial, serta memunculkan sumber pendapatan baru.
Agus menekankan pentingnya kemandirian relatif, yakni dengan memproduksi konten-konten yang kuratif dan berintegritas.
Tentu saja, ini sebagai bentuk perlindungan terhadap disrupsi digital yang terus berkembang.
Model bisnis baru ini dapat menjadi fondasi bagi media digital untuk tidak hanya bertahan.
Harapannya, media digital dapat berkembang di era teknologi yang serba cepat ini.
Dengan demikian, media digital tidak hanya sekadar mengikuti tren tetapi juga berperan aktif, dalam membentuk masa depan industri informasi di Indonesia.
Kesimpulan
Bisnis media digital, memiliki prospek cerah di masa depan.
Namun, tantangannya adalah bagaimana media dapat berinovasi dan menjaga kualitas konten di tengah persaingan ketat dengan platform digital besar.
Kombinasi antara transformasi teknologi, model bisnis baru, dan komitmen terhadap kualitas jurnalistik adalah kunci untuk meraih kesuksesan dalam industri ini.