Ketegangan Sosial dan Dampak Ekonomi
Kondisi ini tak hanya melumpuhkan pelayanan publik, tetapi juga memperparah polarisasi sosial.
Ketika kepala desa kehilangan legitimasi moral, masyarakat terbelah menjadi dua kubu antara pendukung fanatik dan kelompok kritis.
Konflik internal ini berpotensi memicu stagnasi pembangunan.
Investor dan mitra CSR pun cenderung menjauh dari desa-desa yang penuh konflik.
Lebih jauh lagi, kemacetan birokrasi akibat konflik ini menyebabkan terhambatnya program-program vital seperti pembangunan infrastruktur, bantuan sosial, serta program pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Maka desa yang semestinya menjadi lokus pembangunan justru terjebak dalam pusaran konflik horizontal.
Solusi: Kembali ke Transparansi dan Literasi Politik
Kebisingan warga adalah sinyal kuat bahwa sistem pengawasan dan pengelolaan keuangan desa harus mendapat pembenahan secara sistemik.
Pemerintah daerah harus segera memperkuat peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD), membentuk sistem digitalisasi pelaporan keuangan yang terbuka, serta mendorong pengawasan berbasis komunitas.
Tak kalah penting adalah pendidikan politik di akar rumput.
Warga desa harus mendapat bekal literasi agar tak mudah terbeli suaranya dan mampu memahami fungsi pengawasan secara benar.
Pendidikan politik ini bukan hanya soal pemilu, tetapi soal membangun kewargaan yang aktif, kritis, dan beretika.
Desa bukan sekadar wilayah administratif, melainkan panggung utama dalam politik keseharian masyarakat.
Ketika kepemimpinan desa berjalan tanpa kesiapan moral dan akuntabilitas, maka yang muncul adalah kegaduhan sosial dan stagnasi ekonomi.
Saatnya kepala desa berhenti melihat jabatan sebagai alat untuk memperkaya diri, dan mulai menempatkan amanah publik di atas kepentingan pribadi.
Karena sejatinya, desa adalah cermin pertama demokrasi Indonesia.
Komentar