Diksinasinews.co.id- Keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) menandai babak baru yang mencemaskan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Lembaga yang seharusnya berdiri sebagai penjaga konstitusi kini justru melampaui batas kewenangannya dan memasuki wilayah kekuasaan yang bukan menjadi bagiannya.
Salah satunya adalah terkait waktu pelaksanaan Pemilu DPR dan DPRD, yang secara hukum merupakan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan Mahkamah Konstitusi.
Langkah MK ini bukan hanya inkonstitusional, tetapi juga berbahaya.
Jika dibiarkan, apa yang akan mencegah MK suatu hari nanti mengubah masa jabatan presiden menjadi sepuluh tahun?
Atau menetapkan gubernur dan wali kota tanpa pemilu? Atau bahkan menunda pemilu nasional atas dasar tafsir sepihak terhadap konstitusi?
Ini adalah bentuk nyata pencurian kedaulatan rakyat.
Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
MK tidak diberi mandat untuk mengambil keputusan politik yang mengintervensi hak rakyat dalam memilih maupun dalam menata institusi negara.
Ketika MK mulai memainkan peran sebagai pembuat kebijakan atau bahkan“pengatur ulang sistem politik”, maka yang kita saksikan adalah pelemahan demokrasi oleh lembaga yang seharusnya menjadi penjaganya.
Dalam konteks ini, banyak pihak juga mempertanyakan kebijakan penghapusan dissenting opinion dalam tubuh MK.
Memang benar, dissenting opinion sering membuat putusan MK terlihat tidak bulat.
Namun perlu dipahami, yang dibutuhkan dari MK bukan sekadar demokrasi internal, melainkan kepastian hukum.