Politik Gentong Babi: Strategi Populis atau Ancaman Demokrasi?

Memahami Politik Gentong Babi dari Perspektif Kepentingan Publik

“Ketika bantuan sosial menjadi klaim sebagai prestasi individu kandidat, masyarakat kesulitan membedakan antara kebijakan publik dan janji politik,” katanya.

Praktik ini tidak hanya membingungkan publik tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial karena distribusi bantuan yang tidak merata.

Selain itu, Egi Primayoga dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menambahkan, “Penggunaan anggaran publik untuk tujuan politik dapat meningkatkan risiko korupsi dan memperkuat budaya ketergantungan masyarakat terhadap bantuan jangka pendek.”

Risiko ini semakin parah dengan kurangnya literasi politik di masyarakat.

Memperkuat Demokrasi: Pengawasan dan Literasi Politik

Cyril Raoul Hakim, juru bicara Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, menekankan perlunya pengawasan penggunaan anggaran publik.

“Bansos harus terarah dan bebas dari kepentingan elektoral,” tegas Cyril.

Ia juga mengkritik praktik pejabat yang mengaitkan keberlanjutan bansos dengan kemenangan calon tertentu, menyebutnya sebagai bentuk manipulasi politik.

Sementara itu, Dedi Kurnia Syah dari Indonesia Political Opinion menyatakan, “Praktik politik gentong babi memperburuk literasi politik masyarakat.

Jika abaikan ini, masyarakat akan terus bergantung pada bantuan jangka pendek tanpa memahami pentingnya pembangunan jangka panjang.”

Menimbang Ulang Politik Gentong Babi

Politik gentong babi memang memberikan manfaat jangka pendek bagi masyarakat, tetapi risiko jangka panjangnya terhadap demokrasi dan ketimpangan sosial tidak dapat kita abaikan.

Menjelang Pemilu 2024, pengawasan ketat, penegakan hukum, dan peningkatan literasi politik menjadi kunci untuk memastikan anggaran publik berjalan secara bertanggung jawab.

Bivitri Susanti mengingatkan, “Menggunakan dana publik untuk kepentingan politik adalah ancaman nyata bagi masa depan demokrasi Indonesia.”