Di lapangan, keadilan ekonomi belum menyentuh mayoritas rakyat kecil.
Pendidikan: Antara Harapan dan Komoditas
Pendidikan semestinya menjadi tangga mobilitas sosial.
Namun kini, ia berubah menjadi komoditas mahal.
Kualitas pendidikan, penentuannya masih oleh kemampuan ekonomi keluarga.
Lembaga pendidikan favorit nyaris mustahil terjangkau oleh siswa dari latar belakang miskin.
Bahkan beasiswa yang seharusnya menjembatani kesenjangan pun terkadang tak merata atau rawan manipulasi.
Ketimpangan akses pendidikan mengunci peluang generasi bawah untuk bermimpi lebih tinggi.
Kapitalisme yang Membelenggu
Sistem ekonomi yang kian liberal membuka ruang bagi kapitalisme untuk mencengkeram kehidupan rakyat.
Harga tanah, air, listrik, hingga pendidikan dan kesehatan, semuanya tunduk pada mekanisme pasar.
Individu akhirnya dikerdilkan menjadi sekadar angka produktivitas.
Mereka dipacu untuk bekerja tanpa henti demi bertahan hidup, bukan demi berkembang.
“Dewasa ini, semua individu seolah terpaku dengan validasi dan pembuktian diri. Saling sikut demi menyelamatkan pribadi.”
Saatnya Bangun, Hadapi Kenyataan
Masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa mimpi tak cukup hanya diangan-angankan.
Ketika sistem tak berpihak, rakyat tak boleh terus berharap tanpa bertindak.
Harus ada kesadaran kolektif untuk menagih tanggung jawab negara, memperkuat solidaritas, dan menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila yang humanis dan adil.
“Mari kita bersama menjadikan Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup agar negara ini tak mati suri.”
Mimpi boleh tetap tumbuh, tapi realitas sosial harus dilawan dengan kesadaran dan keberanian. Karena hanya dengan begitu, mimpi itu bisa benar-benar menjadi nyata.