Dilema Penonaktifan 8 Juta Data Penerima Bansos dan Rekening Dormant, Verifikator: Kami Serba Salah

“Kami yang Paling Tahu Siapa yang Layak”: Keluhan Verifikator Bansos di Tengah Pembersihan Data 2025

DiksiNasi, Jakarta – Pemerintah, resmi menonaktifkan delapan juta data penerima bantuan sosial (Bansos) pada awal 2025.

Bagi publik kota besar, ini mungkin sekadar angka pembaruan data.

Tapi bagi para verifikator di lapisan paling bawah, seperti RT, RW, hingga kepala dusun, ini adalah realitas pahit yang sudah lama mereka suarakan: data pusat sering tak sesuai kondisi di lapangan.

“Yang kami tahu di lapangan itu tidak selalu sama dengan yang ada di sistem pusat. Kadang orang yang sudah pindah, bahkan yang meninggal, masih muncul sebagai penerima,” ujar Ade Mahmudin, seorang kepala dusun di Jawa Barat. Selasa, (29/07/2025).

Ironisnya, banyak laporan dari bawah tentang warga yang secara ekonomi masih tertatih, namun tidak masuk daftar penerima.

Di sisi lain, ada warga yang hidup berkecukupan tapi masih rutin menerima bansos.

Pemutakhiran Data Dinilai Tidak Menyentuh Akar Masalah

Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 menunjuk Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga penentu Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN).

Kementerian Sosial, lewat Menteri Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, menyebut pemadanan data ini penting untuk menghindari tumpang tindih.

Namun dalam praktiknya, proses validasi di lapangan justru mengabaikan suara para verifikator lokal, yang lebih mengenal langsung kondisi warga.

“Kami yang tiap hari bertemu warga. Kami tahu siapa yang layak, siapa yang tidak. Tapi ketika pengajuan masuk ke atas, banyak yang tidak sesuai hasil musyawarah,” keluh Ade.

Ketimpangan di Balik Data yang “Bersih”

Pemerintah menyatakan bahwa 8 juta data penerima bantuan iuran JKN (PBI JKN) yang kini sudah nonaktif, adalah hasil dari verifikasi lapangan dan pemadanan dengan DTSEN.

Namun, banyak verifikator merasa langkah ini lebih menekankan angka daripada konteks sosial di tiap wilayah.

“Bansos itu bukan sekadar data NIK atau desil. Ada dinamika ekonomi yang berubah cepat, seperti kepala keluarga kehilangan pekerjaan mendadak, atau janda dengan anak kecil yang tidak punya penghasilan tetap,” tambahnya.

Hal serupa juga menjadi keluhan para RT di desa-desa lain, yang menyebut bahwa pemutakhiran seharusnya tidak hanya mengandalkan digitalisasi, tapi juga verifikasi humanis.

Proses Aplikasi Tidak Ramah Bagi Masyarakat Rentan

Pemerintah memang membuka dua jalur reaktivasi bagi masyarakat yang datanya kini nonaktif: jalur formal melalui RT/RW dan kelurahan/desa, serta jalur mandiri lewat aplikasi Cek Bansos dan SIKS-NG.

Namun, tidak semua warga bisa memanfaatkan jalur digital ini.

“Banyak warga kami yang tidak punya HP Android, atau tidak tahu cara pakai aplikasi. Akhirnya pasrah, padahal mereka butuh,” ujar seorang RW di Ciamis yang enggan disebutkan namanya.

Data pemerintah menunjukkan baru 0,3% dari data yang nonaktif berhasil aktif kembali

. Angka ini mencerminkan minimnya literasi digital di lapisan masyarakat paling rentan.