DiksiNasi, Pati – Kericuhan di Alun-alun Pati pada Rabu (13/8/2025) hanyalah puncak dari akumulasi kekecewaan publik terhadap kepemimpinan Bupati Sudewo.
Ribuan warga turun ke jalan, sebagian membawa atribut protes, sebagian lagi membawa kemarahan yang sudah mengendap berbulan-bulan.
Aksi yang awalnya berlangsung damai berubah ricuh setelah lemparan botol dan batu menghujani aparat.
Gas air mata dilepaskan, puluhan orang terkapar, termasuk perempuan dan anak-anak.
Rini Susilowati, Direktur RSUD RAA Soewondo, menyebut 33 korban luka ringan kini dalam kondisi stabil.
Namun, menurut pengamat politik, kericuhan ini bukan sekadar persoalan teknis pengamanan.
Ia adalah manifestasi hilangnya “modal sosial” antara pemimpin daerah dan warganya.
Kebijakan yang Memicu Amarah Kolektif
Pemicu awal gelombang protes adalah kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen.
Meski Bupati Sudewo mengklaim langkah itu demi menaikkan pendapatan daerah untuk infrastruktur dan layanan publik, pernyataan menantangnya di media sosial justru membakar emosi publik.
“Silakan kerahkan 50 ribu orang pun, saya tidak akan gentar,” ucapnya dalam video yang viral.
Sikap ini, menurut warga seperti Baskoro (57), menandakan kesombongan dan pengingkaran janji kampanye.
“Sudewo, sudah bohongi kami, tidak sesuai janji,” katanya.
Walau kebijakan itu telah batal pada 8 Agustus, luka sosial sudah terlanjur terbuka.
Aksi protes berubah dari soal pajak menjadi soal legitimasi.
Penolakan Mundur dan Respons Politik
Di hadapan massa, Sudewo meminta maaf tetapi menolak mundur.
“Saya, terpilih oleh rakyat secara konstitusional, jadi tidak bisa berhenti hanya karena tuntutan seperti itu,” tegasnya dari atas kendaraan lapis baja.
Penolakan itu memicu DPRD Kabupaten Pati mengaktifkan senjata politiknya, yaitu hak angket.
Delapan fraksi sepakat membentuk Panitia Khusus untuk menilai kebijakan dan kinerja Sudewo.
Jika rekomendasi DPRD dikabulkan Mahkamah Agung, pintu pemakzulan terbuka.