“Pasal ini seolah bermakna preventif, namun implisitnya bisa bermakna mendukung perilaku yang justru bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan dan budaya kita,” tambahnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya menarik kembali PP tersebut untuk melakukan revisi sebelum berlaku secara resmi.
Pandangan Praktisi Pendidikan
Kritik keras juga datang dari kalangan tenaga pendidik. Suarman Guntara, M.Pd., seorang praktisi pendidikan asal Ciamis, secara tegas menolak keberadaan pasal ini.
“Meskipun alasan kesehatan menjadi pertimbangan, saya rasa kurang bijak jika penyediaan alat kontrasepsi menjadi keharusan di sekolah. Ini bisa memberikan sinyal yang salah kepada siswa,” tegasnya.
Suara dari Tokoh Agama
Senada dengan para pendidik dan anggota dewan, tokoh agama Ciamis, Ustadz Saefudin, menyarankan agar pemerintah lebih teliti dalam menyusun peraturan.
“Seharusnya, tim penyusun memperhatikan berbagai aspek, seperti aspek historis, sosiologis, yuridis, antropologis, dan agama sebelum mengesahkan aturan tersebut,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kegagalan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat setelah terbitnya PP ini.
Kesimpulan
Kontroversi PP 28 Tahun 2024 terus bergulir di Ciamis, memicu beragam tanggapan dari tokoh agama, anggota dewan, dan praktisi pendidikan.
Kritik utama yang muncul adalah kekhawatiran bahwa peraturan ini justru akan mendorong perilaku seks bebas di kalangan remaja, serta kurangnya partisipasi publik dalam proses penyusunannya.
Sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk menarik dan merevisi PP ini demi menghindari polemik lebih lanjut.