DiksiNasi, Ciamis – Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso bukan sekadar mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Ia adalah simbol integritas yang langka dalam sejarah kepolisian Indonesia.
Menjabat sebagai Kapolri pada 1968–1971, Hoegeng dikenal luas karena keteguhan sikapnya dalam menolak suap, hidup bersahaja, dan tidak membiarkan keluarganya terseret dalam konflik kepentingan.
Satu tindakan legendaris adalah ketika ia meminta istrinya menutup usaha toko bunga, karena khawatir menimbulkan benturan kepentingan saat ia menjabat Kepala Jawatan Imigrasi.
“Hoegeng tidak segan menindak pelaku korupsi dan suap, bahkan berani membongkar kasus penyelundupan,” tertulis dalam arsip biografinya.
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan yang Membentuk Karakter
Lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, Hoegeng tumbuh dalam keluarga jaksa yang cukup terpandang.
Nama aslinya adalah Iman Santoso.
Nama “Hoegeng” berasal dari plesetan kata “bugel” karena tubuhnya yang gemuk saat kecil.
Ia menempuh pendidikan dari HIS hingga AMS dan sempat kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) sebelum ditutup oleh pendudukan Jepang.
Pendidikan formalnya yang kuat dan pergaulannya dengan tokoh-tokoh intelektual masa muda seperti Usmar Ismail dan Rosihan Anwar, mengasah cara pandangnya tentang keadilan dan moral publik.
Karier Militer dan Awal Kiprah sebagai Polisi
Hoegeng mengawali karier kepolisian lewat pelatihan di masa pendudukan Jepang, lalu menjadi Kepala Polisi Jomblang, Semarang.
Kariernya menanjak cepat, termasuk saat ia menjabat Kepala Jawatan Imigrasi, Menteri Sekretaris Kabinet, hingga akhirnya ditunjuk menjadi Kapolri oleh Presiden Soeharto pada 1968.
Selama menjabat, ia melakukan reformasi struktural besar di tubuh Polri.
Salah satunya adalah mengubah sebutan Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) menjadi Kapolri dan mendirikan National Central Bureau Interpol di Jakarta.