DiksiNasi, Bandung – Tri Yanto tak menyangka langkahnya mengungkap dugaan penyelewengan dana zakat justru menyeretnya ke ranah pidana.
Mantan Kepala Kepatuhan Baznas Jawa Barat itu kini menyandang status tersangka setelah melaporkan potensi korupsi senilai Rp13,3 miliar.
Laporan Korupsi Berujung Jerat Hukum
Alih-alih mendapatkan perlindungan sebagai pelapor, Tri dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Saya tidak menyebarkan dokumen ke publik, hanya ke pengawas internal Baznas RI dan Inspektorat Jabar sebagai bukti laporan,” kata Tri Yanto. Rabu, (28/05/2025).
Polisi menuduh Tri menyebarkan dokumen rahasia milik Baznas Jabar tanpa izin, termasuk laporan dana hibah BTT APBD 2020.
Pejabat Baznas Jabar pada Maret 2025, melayangkan laporan terhadap Tri.
Lemahnya Perlindungan bagi Pelapor Korupsi
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis antikorupsi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menilai penetapan Tri sebagai tersangka mencederai hak atas perlindungan whistleblower.
Aturan tersebut, tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 dan konvensi internasional UNCAC yang diratifikasi Indonesia.
“Terjadi ketimpangan akses keadilan antara individu pelapor dan institusi kuat seperti Baznas,” kata Fariz Hamka dari LBH Bandung. Sabtu, (12/07/2025).
Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan mendesak kepolisian menerbitkan SP3 untuk Tri Yanto dan menyerukan perlindungan aktif dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
ICW menegaskan bahwa hak perlindungan hukum bagi pelapor bukan sekadar kebijakan opsional, melainkan kewajiban negara.
Reformasi Sistem Pengawasan Zakat Mendesak
Pengamat zakat menilai kasus ini mencerminkan disfungsi sistem pengawasan dana zakat.
Ketua Indonesia Zakat Watch, Barman Wahidatan Anajar, menyebut Baznas memiliki wewenang terlalu besar tanpa pengawasan yang memadai.
“Baznas merangkap peran sebagai operator, auditor, dan regulator. Dalam bahasa hukum, ini menjadikannya superbody yang berisiko tinggi konflik kepentingan,” ujarnya.
Barman menyebut mekanisme rekrutmen komisioner Baznas yang berlangsung oleh pejabat eksekutif—presiden, gubernur, wali kota—juga membuka celah politisasi zakat.
“Tanpa reformasi, zakat berisiko terseret ke wilayah kepentingan elektoral,” katanya.
Komentar