Pemerintah daerah gencar memberlakukan larangan merokok di tempat umum, perkantoran, dan fasilitas publik lainnya, dengan alasan kesehatan masyarakat.
Namun, kebijakan ini menimbulkan paradoks, di mana daerah yang mendapatkan keuntungan dari cukai rokok justru melarang konsumsi produk yang menjadi sumber pendapatan mereka.
Misalnya, Jawa Timur dan Jawa Tengah sebagai penerima terbesar DBHCHT telah menerapkan Perda KTR di berbagai kota, seperti Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta.
Sementara itu, NTB yang juga menerima ratusan miliar dari DBHCHT aktif mengkampanyekan kawasan bebas rokok.
Apakah kebijakan ini mencerminkan komitmen terhadap kesehatan, atau sekadar sikap munafik yang menolak mengakui manfaat ekonomi dari industri tembakau?
Tantangan Regulasi dan Dampaknya
Buku Nicotine War membuka wacana tentang bagaimana perang terhadap nikotin memiliki dimensi ekonomi yang luas.
Sementara pemerintah gencar menerapkan regulasi anti-tembakau atas nama kesehatan publik, kebijakan ini memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi daerah penghasil tembakau.
Ironi muncul ketika daerah-daerah yang menerima keuntungan besar dari DBHCHT justru memberlakukan larangan ketat terhadap konsumsi rokok.
Pemerintah harus menemukan keseimbangan antara kebijakan kesehatan dan keberlangsungan ekonomi agar kebijakan yang dibuat tidak hanya menguntungkan industri farmasi.
Namun, pemerintah juga harus tetap menjaga kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidup pada industri tembakau di Indonesia.
Komentar