Selain itu, adanya tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa juga menjadi perhatian serius.
“Kalau UU Penyiaran versi baru ini tetap seperti ini tentu ada benturan antara UU Pers dan UU Penyiaran yang baru,” ujar Hendry.
Pasal 8A huruf q memberikan kewenangan kepada KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik, yang sebelumnya menjadi tugas Dewan Pers.
Bantahan dari DPR RI
Politikus dari berbagai partai, seperti Mayor Jenderal (Purnawirawan) TB Hasanuddin, menegaskan bahwa DPR tidak bermaksud untuk membatasi kebebasan pers melalui RUU ini.
Namun, pembatasan tersebut merupakan usulan, untuk mencegah pengaruh opini publik terhadap proses hukum yang sedang berlangsung.
“Saya kira, bisa kita pahami. Jadi jangan sampai proses hukum oleh aparat, terpengaruh konten jurnalisme investigasi,” kata Hasanuddin.
Meskipun demikian, kritik terhadap RUU Penyiaran 2024 terus mengemuka.
Banyak pihak menyoroti potensi pembatasan kebebasan pers, yang muncul dari beberapa pasal dalam draft tersebut.
Dengan masih dalam tahap pembahasan, harapan untuk revisi yang lebih menghormati kebebasan pers tetap terbuka.
Kontroversi ini menunjukkan pentingnya dialog antara para pemangku kepentingan untuk mencapai kesepakatan yang memperkuat kebebasan pers tanpa mengorbankan kepentingan lainnya dalam proses legislasi.