Namun daya pikat Mio tak melulu pada fitur.
Di tengah maraknya fitur digital dan motor listrik, para penggemra tetap mempertahankan Mio.
Produksi Mio S dan Mio Z mungkin berhenti pada 2022, namun daya hidup Mio justru menyala di tempat lain.
Romantisisme Jalanan: Kembalinya Mio Klasik
Ada ironi di balik kemajuan teknologi. Saat konsumen urban mulai berburu motor listrik, komunitas motor klasik kembali menggandrungi Mio lawas.
Mereka tidak hanya memodifikasi, tetapi juga merekonstruksi identitas Mio sebagai bagian dari sejarah urban Indonesia.
Restorasi, pengadaan spare part, dan pertemuan komunitas jadi cara baru membangun koneksi sosial.

“Mio bukan sekadar alat transportasi. Ia jadi artefak yang mengingatkan kita pada era transisi sosial,” ujar Bangkit satu anggota komunitas di Ciamis.
Harga Nostalgia dan Fanatisme yang Mahal
Harga Mio lama kini bisa menyentuh belasan juta rupiah.
Warna-warna ikonik seperti biru telur asin atau kuning bis sekolah menjadi buruan kolektor.
Bangkit, pecinta Mio asal Ciamis, menyebut merawat Mio klasik adalah komitmen emosional.
“Bukan buat kaum mendang mending. Mio itu sahabat dekat SPBU, borosnya minta ampun. Hanya orang pemberani yang tak gentar miara Mio,” katanya. Senin, (07/07/2025).
Ia juga menambahkan bahwa komponen orisinal kadang harus mereka impor dari Thailand.
Skutik yang Menjadi Simbol Budaya Populer
Kini, Yamaha Mio melampaui statusnya sebagai produk otomotif.
Ia menjadi lambang masa lalu yang tak lekang, artefak generasi, dan simbol transisi masyarakat urban Indonesia dari era manual ke era instan.
Di tengah persaingan skutik modern, Mio tetap melaju—bukan dengan kecepatan, tetapi dengan kenangan.
Komentar