DiksiNasi, Malang, – Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1446 H atau 1 Suro dalam kalender Jawa dirayakan dengan tradisi Mbabar Bubur Suro oleh masyarakat Gribig, Kota Malang.
Di kompleks Makam Ki Ageng Gribig, berbagai agenda meriah digelar, mulai dari Ngudeg Bubur Suro, Andum Bubur Suro, hingga Kirab Gunungan Takir.
Prosesi Tradisi
Ngudeg Bubur Suro, berarti mengaduk bubur.
Selanjutnya, panitia membagikannya kepada masyarakat dalam kegiatan Andum Bubur Suro.
Kirab Gunungan Takir adalah arak-arakan membawa bubur yang memiliki bentuk menyerupai Tumpeng raksasa.
Arak-arakan ini mulai dari gerbang perumahan Bulan Terang Utama menuju Makam Ki Ageng Gribig, sejauh 500 meter.
Totok Haryanto, tokoh masyarakat Gribig, menjelaskan bahwa prosesi ini, terdapat seorang wanita berpakaian serba hitam yang membawa sapu.
Dia, memimpin prosesi acara menemani seorang sepuh yang merepresentasikan Ki Ageng Gribig.
Di belakangnya, masyarakat menggotong Gunungan Takir Bubur Suro, sementara beberapa warga mengenakan Topeng Malangan dengan iringan tabuhan rebana.
“Wayang Topeng Menak menggambarkan perjuangan Raja Menak dan sekutunya dalam mengislamkan wilayah Malang,” ujar Totok. Sabtu, (06/07/2024).
Dia, menambahkan bahwa Wayang Topeng ini merupakan kontribusi dari warga RW 16, 17, dan 18 perumahan Bulan Terang Utama di bawah bimbingan Yudit Perdananto, pegiat Topeng Malangan.
Makna dan Sejarah Bubur Suro
Bubur suro adalah hidangan yang tersaji khusus pada peringatan bulan Asyura atau Suro.
Pegiat sejarah Surabaya, Nur Setiawan, menyebutkan bahwa tradisi ini terinspirasi oleh peristiwa Karbala, di mana cucu Nabi Muhammad SAW terbunuh.
“Bulan Suro menjadi sakral bagi orang Jawa yang telah memeluk Islam, sebagai bulan berkabung,” kata Wawan, panggilan akrabnya.