DiksiNasi, Cikarohel – Aksi protes tanpa kata dan suara di Keraton Adipati Galuh tampaknya terus berlanjut.
Ini bukan karena tak mencintai Galuh, melainkan karena cinta itu tak berbalas.
Seperti biasa, dalam pengajian Subuh pagi ini, Mama Rohel kembali mencemaskan banyaknya putra terbaik Cikarohel yang memilih pergi.
Sementara itu, Ajengan Duleh menyeruput kopi pahitnya dengan tenang.
“Mama, ada kabar burung. Setelah BK diarak ke Gedung Pakuan, akan ada satu lagi yang pindah ke Jakarta. Galuh terasa terlalu sempit untuk berkarier. Kabarnya, Haji AF juga akan terbang ke Jakarta,” ujar Ajengan Duleh membuka percakapan.
Mama Rohel mengernyit.
Ia membayangkan bagaimana nasib pembangunan Galuh tanpa kontribusi putra daerah.
Di satu sisi, ia menyadari bahwa berpindah tempat untuk berkarier adalah hal wajar.
Namun di sisi lain, Galuh sangat membutuhkan sentuhan inovasi dari anak-anak daerahnya.
“Mang Duleh, itu sudah biasa dalam dunia kerja. Sebelumnya juga ada Kurniawan, putra terbaik Galuh yang hijrah ke Karawang. Tapi jika kelak Galuh dipenuhi para Temenggung dari luar daerah, jiwanya tak akan menyatu. Mungkin saja AF memang sudah tidak nyaman lagi membela lembur,” jawab Mama Rohel.
Desas-desus di kalangan Keraton menyebutkan bahwa suasana politik birokrasi tengah tak kondusif.
Sang Adipati menetapkan ekspektasi yang tinggi, sementara anggota kabinetnya justru tampak goyah.
Tidak jelas siapa yang seharusnya bertanggung jawab.
“Lalu, kita harus bagaimana, Mama? Apakah sebagai rakyat Galuh kita perlu menyampaikan masukan kepada Kanjeng Prebu Adipati?” tanya Ajengan Duleh.
Sambil kembali menyeruput kopi, Mama Rohel memberikan penjelasan.
“Kalau sang Adipati tidak mampu memberdayakan sumber daya manusia yang ada, mungkin lebih baik lepas saja. Eksodus pejabat bisa kita maknai sebagai pengembangan karier. Namun jika eksodus itu terjadi karena situasi Galuh yang tak kondusif, ini menandakan ada gelombang di dalam tubuh Keraton Galuh. Dampaknya akan terasa pada kinerja pemerintahan sang Adipati.”