Part 93: Mama Rohel Pimpin Gerakan Infak Seribu

Kolam-kolam ikan dan tanaman warga dicuri, sehingga banyak penduduk kehilangan harta benda

“Mama, keadaan negeri kita sedang tidak baik-baik saja. Kas Keadipatian sedang defisit, anggaran pembangunan terganggu, apalagi subsidi dari pemerintah Belanda juga dikurangi,” ujar Kanjeng Prebu membuka pembicaraan pagi itu.

Mama Rohel mengangguk.

Obrolan pagi ini jelas memerlukan pemikiran cerdas agar Negeri Galuh bisa keluar dari krisis.

“Sumuhun, Kanjeng Prebu. Kita harus berpikir mencari solusi lain agar keadaan negeri ini stabil kembali. Ketika pengangguran meningkat dan lapangan kerja menyempit, kejahatan akan semakin merajalela. Kita harus kompak bergotong royong membangun Galuh, Kanjeng,” timpal Mama Rohel.

Dahi Kanjeng Prebu juga berkerut.

Pikirannya menerawang jauh ke masa depan anak cucu.

“Negeri ini harus berumur panjang, tidak boleh hancur,” gumamnya.

Di tengah kebuntuan diskusi antara Mama Rohel dan Kanjeng Prebu, datanglah Amil Keraton, Ajengan Muhammad Taib.

Ia juga telah menyiapkan strategi untuk dana pembangunan melalui gerakan infak.

“Ampun paralon, Kanjeng Prebu. Manawi kaanggo, semakin hari jumlah umat Islam bertambah banyak. Ini adalah potensi besar untuk menggerakkan umat agar membayar infak melalui Baitul Maal Keadipatian,” usul Ajengan Taib.

Mama Rohel Tersenyum Lebar

Usulan Ajengan Taib serasa membawa angin segar setelah sekian lama kebuntuan melanda diskusi.

Kanjeng Prebu pun menunjukkan isyarat setuju atas gagasan itu.

“Mama, tolong pimpin gerakan infak untuk negeri. Cukup perkepala 1.000 gulden. Saya yakin, dalam setahun kita bisa mengumpulkan sekian miliar gulden. Saat ini, jumlah penduduk muslim sudah mencapai 1.000 jiwa,” dawuh Kanjeng Prebu.

Tabik pun,
Ciamis, 21 Januari 2025