Samsul Mengawal Mama Rohel
Mama Rohel tidak sendirian.
Samsul, santri senior dengan setia mengawalnya.
Wajah Samsul tampak berkerut, menunjukkan keprihatinannya terhadap keadaan yang gurunya saksikan.
“Mama, bukankah saat ini sulit menghindari perputaran modal asing? Dunia investasi semakin terbuka, sehingga kekuatan modal asing pun masuk ke negeri kita,” ujar Samsul, mencoba memahami pemikiran gurunya.
“Iya, Sul. Bayangkan jika hal ini terus terjadi, bangsa kita tak akan pernah mandiri. Sudah saatnya modal dalam negeri dan taipan Muslim melakukan gerakan investasi agar kita bisa berdaulat di negeri sendiri,” jawab Mama Rohel.
Sambil menyeruput kopi, Mama Rohel menerawang kekayaan umat Islam di Galuh.
Penduduk Muslim di sana hampir mencapai 1,1 juta jiwa.
Jika 500 ribu orang secara aktif menyisihkan wakaf modal tunai sebesar Rp2.000 per bulan, maka dalam satu bulan akan terkumpul dana Rp1 miliar.
“Bayangkan, satu miliar setiap bulan hanya dari investasi Rp2.000 per orang. Kita tidak perlu membahas zakat, infak, atau sedekah, melainkan investasi murni berbasis keumatan. Nantinya, umat Islam bisa mendirikan Badan Investasi Umat yang berfungsi sebagai funder dan investor. Dengan adanya lembaga ini, kita tidak akan lagi bergantung pada modal asing,” ujar Mama Rohel.
Penjelasan Mama Rohel
Samsul mendengarkan dengan saksama, lalu menimpali penjelasan gurunya.
“Mama, di negeri sebelah sudah ada Baznas dan Badan Wakaf yang mengelola kekayaan dari zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Apa tidak sebaiknya kita meniru mereka?” tanyanya.
Sambil menarik napas panjang, Mama Rohel menjawab,
“Kita memang bisa meniru negeri sebelah, tetapi Badan Investasi Umat ini bukan hanya untuk membantu orang miskin dan mustahik. Lembaga ini juga bertujuan agar kelas menengah umat Islam yang bergerak di bidang usaha tidak terikat oleh modal asing. Lebih sulit mengangkat orang miskin menjadi kaya daripada mempertahankan orang kaya agar tetap bertahan dalam usahanya. Bukankah kewajiban zakat, infak, dan sedekah justru dibebankan kepada mereka yang memiliki kekayaan?”
Tak terasa, waktu semakin larut.
Sebentar lagi waktu sahur tiba.
Mama Rohel pun mengakhiri obrolannya di warung kopi Mak Icih.
Ia dan Samsul lalu memacu kuda, kembali ke Kampung Cikarohel.