“Ya, inilah sejarah yang tercecer di balik Kampung Susuru yang kini menjadi ikon kerukunan umat beragama. Apa pun motivasinya, mereka juga orang Sunda, dulur urang sararea,” ujar Mama Rohel.
Perjalanan ke Kampung Susuru
Tak terasa, obrolan pun menjelang siang.
Rombongan tim kerukunan umat beragama segera berangkat ke Kampung Susuru.
Mama Rohel memimpin rombongan, beberapa ajengan dari negeri Kanjeng Prebu mengikutinya.
Mama Rohel menunggangi kuda sembrani yang gagah dan perkasa, sedangkan rombongan lainnya naik kereta kuda.
Dua jam kemudian, rombongan tiba di Kampung Susuru. Mama Rohel turun dari kuda dan mendapat sambutan dari Kuwu Otoy, pendeta, dan pastor.
Suasana Akrab dan Rukun
Di antara mereka, ada Pastor Romo Gatot yang sudah familiar.
Rombongan mendapat sambutan di ruang lobi gereja.
Setelah saling berpelukan, Mama Rohel mengucapkan, “Wilujeng Natal, Romo.”
“Haturnuhun, Mama, tos kersa sumping ka Kampung Susuru,” jawab Romo Gatot.
Suasana akrab dan rukun begitu terasa.
Seperti biasa, humor khas Sufi kembali menghangatkan suasana.
Kali ini, Romo Gatot memulai dengan sebuah pertanyaan.
“Kenapa para ajengan senang sekali poligami? Bukankah itu menyakiti perempuan, Mama?”
Mama Rohel, dengan senyum khasnya, menjawab, “Iya, karena Islam memuliakan perempuan, dan poligami itu pilihan, Romo. Anu pasti mah ngeunah loba pilihan rasa, Romo. Ini yang tidak dinikmati para pastor.”
Hahaha.
Gelak tawa rombongan memenuhi ruangan mendengar humor Mama Rohel.
Romo Gatot ikut tersenyum dan mengakui bahwa pastor ada larangan menikah sampai kapan pun.
Namun, para pendeta Kristen boleh menikah dan memiliki keturunan.
Tak terasa, obrolan pun berakhir. Mendung di langit Kampung Susuru mulai menebal.
Petir menyambar langit, pertanda Mama Rohel dan rombongan harus kembali ke Kampung Cikarohel. **