DiksiNasi, Ciamis – Di atas kertas, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah jalan menuju generasi emas.
Ia bukan hanya urusan makan siang atau ompreng anak sekolah, tapi proyek besar yang menyasar 15 hingga 18 juta penerima manfaat di tahun pertama pelaksanaannya: siswa, santri, ibu hamil, ibu menyusui, hingga balita.
Namun, sebagaimana proyek negara dengan anggaran jumbo sebesar Rp 51 triliun untuk 2025 saja.
MBG juga rawan diselewengkan bila pengawasan dan etik diabaikan.
Tulang Punggung MBG: BGN dan SPPG
Pelaksana utama program ini adalah Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga baru hasil Perpres No. 83 Tahun 2024.
Lembaga ini, memiliki otoritas penuh dalam pemenuhan gizi nasional.
Di lapangan, BGN membentuk 5.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai unit operasional MBG.
Setiap SPPG melayani 3.000–4.000 orang penerima manfaat dalam radius 6 km, dengan fokus pada penyediaan makanan bergizi sesuai standar gizi Kemenkes.
Siapa Saja yang Terlibat?
Pelaksanaan program MBG melibatkan berlapis-lapis aktor dan pemangku kepentingan, dari pusat hingga desa.
Berikut anatominya:
1. Pemerintah Pusat
BGN (Badan Gizi Nasional): regulator, pengarah, dan pengawas utama.
Kementerian/Lembaga (K/L): seperti Kemendikbud, Kemenkes, BKKBN, Kemenag, Kemendagri, Kemenko PMK, Bappenas yang bertugas sebagai pendukung kebijakan dan pelaksana sektoral.
2. Pemerintah Daerah
Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan bertugas mendampingi SPPG.
Pemda diperkenankan mengalokasikan anggaran pendamping dari APBD dan menyediakan infrastruktur pendukung dapur MBG.
3. Pelaku Usaha Lokal
MBG membuka ruang bagi UMKM, BUMDes, koperasi, hingga petani lokal sebagai penyedia bahan pangan.
Mereka harus memenuhi standar keamanan pangan, transparansi harga, dan ketertelusuran asal produk.
4. Yayasan Sebagai Pemilik Dapur MBG
Hanya yayasan yang menjadi satu-satunya bentuk kelembagaan yang menjadi penerima bantuan MBG dan pemilik dapur SPPG.