DiksiNasi, Ciamis – Koperasi Merah Putih dalam satu tarikan napas, terbitnya Inpres Nomor 9 Tahun 2025 terasa menjanjikan.
Ia menyuarakan sesuatu yang telah lama dinanti oleh para pegiat desa: kehadiran koperasi sebagai institusi ekonomi rakyat.
Sebagai aktivis Poros Indoor yang bekerja bersama komunitas lokal di wilayah rural, saya mengapresiasi niat baik pemerintah.
Tapi pengalaman di lapangan mengajarkan saya satu hal: “niat baik” tanpa rencana matang dan kontrol publik hanya akan menjadi mimpi pendek dalam siklus lima tahunan.
Presiden Prabowo Subianto menandatangani Inpres ini sebagai upaya mewujudkan dua dari Asta Cita: swasembada pangan dan pembangunan desa untuk keadilan ekonomi.
Tapi, saya bertanya: apakah kita telah menyiapkan desa-desa untuk menyambut tanggung jawab sebesar itu?
Apakah 80.000 koperasi bukan angka ajaib yang lahir dari mimpi birokrasi?
Pelajaran dari Kegagalan Lalu
Kita pernah memiliki program serupa: KUD, koperasi nelayan, koperasi tani, hingga koperasi perempuan.
Tapi banyak di antaranya tinggal papan nama. Kegagalan utamanya adalah top-down planning yang tidak menyentuh realitas warga.
Koperasi bukan sekadar bangunan fisik dan dokumen notaris. Ia adalah institusi sosial yang harus dibangun di atas kepercayaan, partisipasi, dan kontinuitas.
Sebagaimana disebut dalam Inpres, koperasi Merah Putih akan mencakup sektor pangan, kesehatan, logistik, dan keuangan.
Terlihat hebat di atas kertas. Namun di banyak desa, masalah dasar seperti SDM, manajemen, dan digitalisasi belum teratasi.
Maka koperasi bisa saja lahir dalam semalam, tapi tak akan berumur panjang.
Ekosistem atau Eksploitasi?
Instruksi kepada 18 kementerian dan seluruh kepala daerah untuk bersinergi memang tampak meyakinkan.
Tetapi pertanyaannya: siapa yang akan memastikan elite lokal tidak akan menguasai koperasi atau menjadikannya mesin politik?
Ketika pemerintah menggelontorkan dana besar, kita justru melihat proposal datang lebih dulu daripada partisipasi warga.
Saya mencatat setidaknya dua ancaman: pertama, pelaksana koperasi mengelolanya dengan semangat proyek, bukan sebagai gerakan.
Kedua, aktor tertentu menggunakan koperasi sebagai alat distribusi kepentingan jangka pendek.
Yang lebih mengkhawatirkan, pembuat kebijakan bisa menyeragamkan model usaha koperasi tanpa mempertimbangkan potensi dan kekuatan lokal.