DiksiNasi, Ciamis – Delapan bulan telah berlalu sejak masyarakat Kabupaten Ciamis mencoblos dalam pilkada denga peserta hanya satu pasangan calon.
Pilkada Kabupaten Ciamis 2024 menjadi catatan sejarah yang penuh ironi.
Dalam ajang demokrasi yang seharusnya meriah, hanya ada satu pasangan calon: Herdiat Sunarya dan Yana D. Putra.
Mereka maju melawan “kotak kosong”—dan menang telak dengan 589.695 suara atau 89,31%.
Namun kemenangan itu dibayangi duka, karena dua hari sebelum pencoblosan, almarhum Yana tutup usia.
Sampai hari ini, kursi wakil bupati masih kosong, dan ini bukan sekadar kekosongan jabatan, melainkan krisis tanggung jawab politik.
Lebih mengejutkan lagi, dari 15 partai politik pengusung yang mengusung pasangan ini termasuk PAN, PDIP, PKS, Gerindra, PKB, Golkar, Demokrat, hingga PPP tak satu pun yang benar-benar terlihat serius mendorong pengisian posisi tersebut.
PAN, partai tempat almarhum Yana bernaung dan menjabat sebagai Ketua DPD, justru menjadi yang paling senyap.
Tak ada pernyataan resmi, tak ada manuver politik, bahkan empati pun terasa asing.
Banyak Partai, Tapi Tak Ada Gerak
Dari data resmi KPU, hasil Pemilu Legislatif 2024 menunjukkan bahwa partai-partai pengusung mendominasi parlemen lokal.
Total 50 kursi DPRD Ciamis sudah terbagi, dan tujuh partai pengusung memiliki jumlah signifikan: PDIP dan PAN masing-masing meraih 7 kursi, disusul Gerindra dan Demokrat (6 kursi), PKS, PKB, dan Golkar (5 kursi).
Dengan komposisi seperti itu, mustahil rasanya jika partai-partai ini tidak mampu mencari sosok pengganti.
Maka pertanyaannya: mengapa membiarkan kursi wakil bupati kosong selama lebih dari delapan bulan?
Sebagai rakyat biasa, kami mulai paham bahwa banyaknya partai tidak menjamin kuatnya komitmen politik.
Jumlah partai bukan ukuran kualitas demokrasi jika semuanya memilih diam.
Apa artinya parlemen penuh jika yang duduk di dalamnya lebih sibuk mencari aman daripada bertanggung jawab?
Politik yang Tidak Mengajarkan Apa-Apa
Pendidikan politik bukan sekadar program formal atau materi kurikulum.
Pendidikan politik sejati hadir lewat keteladanan dan sikap para elite.
Sayangnya, dari sikap PAN Ciamis dan partai-partai lainnya kami justru belajar bahwa dalam politik, diam bisa lebih kuat dari suara.
Dan itu pelajaran paling buruk.
Almarhum Yana bukan kader sembarangan.
Ia memimpin PAN dengan suara terbanyak kedua di Ciamis (13,54%) dan menjadi simbol kekuatan politik lokal.
Tapi ketika ia wafat, partainya malah seperti kehilangan arah.
Tak ada inisiatif, tak ada komunikasi, tak ada keberanian.
Kami, masyarakat awam, akhirnya bertanya-tanya: apakah semua ini sekadar soal kalkulasi kekuasaan?
Apakah benar, partai-partai sedang menunggu arahan dari “aktor di belakang layar” sebelum berani melangkah?