Krisis Siswa di Sekolah Swasta Jabar: KCD dan DPRD Harus Bersikap Tegas

Ketika Regulasi Membunuh Pilihan: Sekolah Swasta dalam Kepungan Sistem

banner 468x60

DiksiNasi, CiamisGelombang berkurangnya siswa baru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta di berbagai daerah di Jawa Barat, termasuk Ciamis, menyisakan tanda tanya besar: siapa yang bertanggung jawab?

Dalam konteks ini, dua institusi memiliki peran strategis namun kerap luput dari sorotan tajam: Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Ada yang sedang tak beres dalam sistem pendidikan kita.

Ribuan sekolah swasta di Jawa Barat, termasuk di Kabupaten Ciamis, kini berada di ambang krisis eksistensi.

Bukan karena buruknya mutu pengajaran atau minimnya prestasi, melainkan karena mereka tergulung dalam badai kebijakan yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Penerapan zonasi yang kaku, penambahan rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri hingga 50 siswa per kelas, serta program pencegahan anak putus sekolah (PAPS), awalnya dirancang sebagai solusi pemerataan akses pendidikan.

Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan itu justru menciptakan ruang ketidakadilan baru: membunuh perlahan daya hidup sekolah swasta.

Sekolah swasta di Jawa Barat menghadapi tantangan serius.

Banyak dari mereka kekurangan siswa baru, bukan karena kualitas rendah, tetapi karena sistem penerimaan siswa belum memberi ruang yang adil.

Zonasi ketat, penambahan rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri, dan pelaksanaan Program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) telah menggeser proporsi pendaftar ke satu arah.

Kita perlu memperbaiki pola ini, bukan mencari kambing hitam.

Zonasi dan Rombel Tambahan: Solusi Cepat yang Menimbulkan Masalah Baru

Pemerintah Provinsi Jawa Barat mendorong peningkatan kapasitas sekolah negeri hingga 50 siswa per rombel.

Tujuannya baik, yaitu menekan angka putus sekolah dan memberi akses lebih luas.

Namun, kebijakan ini secara tidak langsung menggerus kesempatan sekolah swasta untuk tumbuh.

Ketika siswa yang awalnya mendaftar ke sekolah swasta kembali berpindah ke negeri karena kuota tambahan, sekolah swasta kehilangan daya saing bukan karena mutu, melainkan karena kebijakan struktural.

Fakta di lapangan mendukung kekhawatiran ini. Sekitar 95% dari 3.858 sekolah menengah swasta belum mencapai kuota minimal penerimaan siswa baru di PPDB tahap II 2025.

Padahal, jumlah lulusan SMP mencapai hampir 700 ribu, sedangkan daya tampung sekolah negeri hanya sekitar 329 ribu siswa.

Dengan angka tersebut, sekolah swasta seharusnya memainkan peran besar dalam menyerap siswa.

KCD dan DPRD Perlu Lebih Aktif Menyelaraskan Kepentingan

Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan memegang tanggung jawab penting dalam mengawasi pelaksanaan PPDB.

Mereka telah menjalankan tugas administratif dan teknis, tetapi tantangan hari ini memerlukan pendekatan lebih strategis.

KCD perlu mendorong regulasi yang mempertimbangkan keseimbangan antara sekolah negeri dan swasta.

Mereka bisa menyuarakan evaluasi sistem zonasi dan menyusun mekanisme afirmasi untuk sekolah swasta agar tetap relevan dan mampu bersaing secara sehat.

Di sisi lain, DPRD memiliki ruang lebih luas untuk bertindak.

Komisi pendidikan DPRD dapat menginisiasi dialog publik, memanggil Dinas Pendidikan untuk menjelaskan kebijakan, dan merumuskan perda yang melindungi eksistensi sekolah swasta.

Dengan menjalankan fungsi legislasi secara aktif, DPRD membantu menjaga ekosistem pendidikan yang sehat dan berkelanjutan.

banner 336x280