Eks Pimpinan KPK Soroti Potensi Jual Beli Remisi Koruptor, Laode: Jangan jadi Komoditas!

Laode mengaku pernah mendengar adanya praktik jual beli remisi di dalam lembaga pemasyarakatan

Ia mencontohkan kasus Harvey Moeis, terdakwa korupsi tata niaga timah yang mendapat tuntutan 12 tahun penjara dari Kejaksaan Agung, tetapi hanya mendapat vonis 6,5 tahun oleh hakim.

“Saya berharap hakim dalam sidang banding dapat memutus jauh di atas tuntutan jaksa agar tidak mencederai rasa keadilan rakyat,” tegas Hudi.

Senada dengan Hudi, Dosen Sosiologi Politik Universitas Jakarta (UNJ), Ubaidillah Badrun, menilai vonis Harvey terlalu ringan mengingat nilai kerugian negara yang timbul mencapai ratusan triliun rupiah.

“Kerugiannya besar, tapi hukumannya hanya 6,5 tahun. Bisa saja penyebabnya adalah jaksa yang kurang cermat dalam menyusun tuntutan,” ujar Ubaidillah.

Kritik terhadap Kebijakan Remisi

Data dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ratusan narapidana korupsi mendapat remisi.

Pada peringatan HUT RI 2021 dan 2022, sebanyak 635 napi kasus korupsi menerima pengurangan hukuman, dengan delapan di antaranya langsung bebas.

Sementara itu, data Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pada 2019, sebanyak 338 napi korupsi menerima remisi HUT RI.

Pada September 2022, Kemenkumham bahkan membebaskan bersyarat 23 narapidana korupsi, termasuk mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, serta eks Menteri Agama Suryadharma Ali.

Melihat fenomena ini, Laode berharap agar aturan pemberian remisi bagi koruptor mendapat kajian ulang atau hapus sama sekali.

Ia menegaskan bahwa kebijakan ini justru berpotensi menumbuhkan praktik korupsi baru di dalam sistem pemasyarakatan.

“Jika tidak ada kontrol, remisi ini bisa menjadi lahan korupsi baru. Sistem hukum harus lebih transparan dan tegas dalam menindak koruptor,” pungkasnya.