Eks Pimpinan KPK Soroti Potensi Jual Beli Remisi Koruptor, Laode: Jangan jadi Komoditas!

Laode mengaku pernah mendengar adanya praktik jual beli remisi di dalam lembaga pemasyarakatan

DiksiNasi, Jakarta – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M. Syarif, mengkritik pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi.

Menurut eks pimpinan KPK tersebut, pengurangan masa hukuman ini berpotensi menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan.

Ia juga menyoroti bahwa praktik remisi memperlemah efek jera terhadap pelaku korupsi di Indonesia.

Remisi Dinilai Mengurangi Efek Jera

Mantan pimpinan KPK tersebut, menegaskan bahwa hukuman bagi koruptor di Indonesia sebenarnya cukup berat, tetapi menjadi ringan karena adanya remisi yang sering diberikan.

Ia mengungkapkan bahwa sebelum aturan berubah, tidak ada pengurangan hukuman bagi terpidana korupsi.

Namun kini, napi dapat memperoleh remisi dengan mudah, bahkan dalam momen perayaan hari besar seperti Idulfitri dan Hari Kemerdekaan.

“Kalau dulu sebelum aturan pemerintah berubah, tidak ada remisi untuk pelaku korupsi. Sekarang justru ada, sehingga yang seharusnya menjalani hukuman lima tahun, baru 2,5 tahun sudah bisa bebas,” ujar Laode di Aula Griya Gus Dur, Jakarta Selatan, Selasa (28/01/2025).

Ia juga membandingkan praktik di Indonesia dengan negara lain, di mana seorang narapidana harus menjalani minimal dua per tiga masa hukuman sebelum bisa mendapat keringanan.

“Di luar negeri, setidaknya dua per tiga hukuman harus berjalan terlebih dahulu. Bukan seperti di sini, dapat remisi di Lebaran, Natal, dan Hari Kemerdekaan,” tambahnya.

Dugaan Jual Beli Remisi

Lebih jauh, Laode mengaku pernah mendengar adanya praktik jual beli remisi di dalam lembaga pemasyarakatan.

“Dengar-dengar, bisa membeli remisi. Mau dapat pengurangan 10 hari, 1 bulan, atau 6 bulan, itu bisa terjadi,” ujarnya tanpa merinci lebih lanjut.

Kritik terhadap sistem remisi bagi koruptor juga datang dari berbagai pihak, termasuk akademisi.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, menilai remisi yang narapidana korupsi terima, bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.