“Kami diberi waktu sampai sore tadi buat ambil barang, tapi kondisi tidak memungkinkan. Banyak yang hanyut, dan kami harus mencari dalam gelap. Ini seperti mencari harapan di tengah keputusasaan,” ungkapnya lirih.
Tak jauh darinya, seorang pedagang aksesori, Fahrozak (50), berdiri mematung di depan tokonya yang kini hanya menyisakan etalase kosong.
Tangannya gemetar saat menyentuh barang-barang yang telah basah dan tak lagi bisa dia jual.
“Sebagian besar dagangan saya sudah hancur. Setiap kali banjir datang, kami yang di lantai dasar selalu jadi korban. Ini bukan pertama kali, tapi kali ini terasa lebih menyakitkan,” ucapnya, suaranya bergetar menahan emosi.
Harapan yang Kian Redup
Di tengah situasi yang semakin mencekam, para pedagang mulai mempertanyakan tanggung jawab pengelola mal dan pemerintah.
Mereka menuntut solusi agar bisa kembali berdagang tanpa harus menghadapi risiko yang sama di kemudian hari.
“Seharusnya pihak mal tidak lagi menyewakan lantai dasar untuk tempat usaha. Lebih baik jadi area parkir daripada kami harus terus rugi setiap kali banjir datang,” ujar Fahrozak dengan nada penuh kekecewaan.
Hingga kini, belum ada kepastian dari pihak pengelola mengenai langkah konkret yang akan menjadi solusi untuk menangani kondisi ini.
Sementara itu, para pedagang hanya bisa bertahan di tengah ketidakpastian, berharap ada secercah cahaya yang dapat membawa mereka keluar dari kegelapan.