Permendagri Sudah Tegas, Tapi Lemah di Pengawasan
Dalam Permendagri 86/2017, tercantum Pokir sebagai masukan dari masyarakat melalui reses atau penjaringan aspirasi yang disampaikan ke DPRD, yang “dapat” dipertimbangkan dalam perencanaan RKPD — bukan “harus” dimasukkan ke dalam anggaran daerah.
“Bahasa hukumnya itu ‘dapat’, bukan ‘wajib’. Tapi hari ini, kepala daerah seperti mendapat tekanan untuk memasukannya ke APBD. Ini penyimpangan yang brutal,” kata Prima.
Ia juga menyinggung Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) yang seharusnya menjadi alat transparansi.
Menurut Prima, justru kerap terjadi penyalahgunaan untuk memasukkan Pokir tanpa proses musrenbang atau kajian teknis.
Pokir Harus Kembali ke Jalur Konstitusi
Alih-alih menjadi instrumen kesejahteraan publik, Pokir kini menjelma menjadi alat tawar-menawar politik lokal.
Prima menyerukan pembenahan serius terhadap praktik ini, termasuk evaluasi ulang terhadap kewenangan DPRD dalam mengusulkan proyek secara spesifik.
“Pokir itu hak menyampaikan pikiran, bukan hak menentukan proyek. Kalau tidak tidak ada yang hentikan, rakyat hanya jadi komoditas politik setiap masa anggaran,” tegasnya.
Desakan Reformasi: Moratorium Pokir?
Dalam penutupnya, Prima mengusulkan agar pemerintah pusat melakukan moratorium Pokir, atau paling tidak melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh proyek berbasis Pokir dalam tiga tahun terakhir.
“Jika perlu, hentikan dulu semua Pokir. Lakukan audit total. Kita harus membedakan antara kinerja representatif dengan mental pedagang proyek,” pungkasnya.