DiksiNasi, CIAMIS — Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang memperluas daya tampung sekolah negeri dengan menambah jumlah murid per kelas memicu ketimpangan baru dalam ekosistem pendidikan lokal.
Tak hanya berdampak pada kualitas pembelajaran, kebijakan ini dinilai menciptakan jarak sosial antara sekolah negeri dan swasta serta mengancam keberlangsungan institusi pendidikan non-pemerintah di daerah.
Langkah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menambah kapasitas siswa di sekolah negeri hingga 40–45 orang per kelas, mengundang reaksi keras dari kalangan pendidik dan pengamat.
Kebijakan ini dianggap mengabaikan fakta lapangan dan berisiko memicu kerusakan sistemik.
“Jika kelas dijejali siswa sebanyak itu, yang terjadi bukan pembelajaran, tapi manajemen keramaian,” kritik Irpan, Kepala SMA Islam Terpadu Asy-Syamsiyyah Al-Hidayah, Cihaurbeuti.
Ancaman Terhadap Ekosistem Pendidikan Daerah
Alih-alih menciptakan pemerataan, kebijakan ini justru berpotensi mengguncang stabilitas ekosistem pendidikan di daerah.
Sekolah swasta yang selama ini menopang pemerataan pendidikan di luar kota besar terancam kehilangan siswa karena kalah bersaing secara kuantitas, bukan kualitas.
“Sekolah swasta adalah benteng kedua negara setelah sekolah negeri. Kalau salah satunya hancur oleh kebijakan yang tidak bijak, maka ekosistem pendidikan kita akan timpang,” kata Maojan Ali Dzulfakor dari Ciamis Intellectual Education (CIE).
Maojan menyebutkan, kebijakan ini tidak melalui kajian akademik dan melabrak prinsip evidence-based policy.
“UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan pentingnya partisipasi publik dan uji akademik dalam pembentukan kebijakan. Di mana itu sekarang?” tegasnya.
Kualitas Jadi Korban, Bukan Solusi
Para pengamat menyebut, penambahan jumlah siswa dalam satu kelas justru akan mengorbankan kualitas pendidikan.
Dengan rasio ideal 1 guru untuk 25–30 siswa menurut laporan UNESCO, pembelajaran akan kehilangan efektivitas jika jumlah peserta didik membengkak.
“Di sekolah swasta, siswa tidak hanya dididik, tapi juga dibina karakter dan mentalitasnya,” jelas Irpan.
Ia menyebutkan pendekatan personal seperti ini tak mungkin dilakukan dalam kelas berisi 45 siswa.
Komentar