Mereka merancang skenario, membagi peran, dan mengeksekusi pencurian tanpa tekanan eksternal.
Rusaknya Kompas Moral, Tapi Tetap Rasional
Andika menilai bahwa kecanduan semacam ini justru lebih membahayakan dibanding penyalahgunaan zat adiktif.
Pelaku tidak kehilangan rasionalitas.
Mereka tetap bisa merancang strategi dan mencari celah hukum, tetapi sudah tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
“Fenomena ini menandakan bahwa nalar manusia bisa tetap bekerja, tetapi moral tidak lagi mengarahkannya,” tegas Dika.
Ia juga menambahkan, banyak pelaku kriminal ekonomi hari ini berasal dari kelas menengah, berpendidikan, dan tidak memiliki riwayat kriminal.
Namun ketika dorongan finansial dan adiksi bersatu, kejahatan menjadi pilihan logis bagi mereka.
Perlu Intervensi Sosial, Bukan Sekadar Hukum
Menurut Dika, pemerintah, komunitas, dan keluarga harus mulai melihat kecanduan digital ini sebagai wabah sosial baru.
Penindakan hukum tidak akan cukup jika penyebab utamanya tidak mendapat penanganan yang tepat.
Penanganan tersebut, bisa melalui edukasi, konseling, dan pemulihan mental.
“Kalau ini dibiarkan, kita akan melihat makin banyak kejahatan yang tampak tenang, logis, dan masuk akal padahal berangkat dari kerusakan batin,” ujarnya.
Kesadaran Tak Selalu Menjadi Penyelamat
Fenomena mabuk sadar telah membalikkan anggapan umum tentang kejahatan.
Kini, bukan hanya orang yang kehilangan kendali yang berbahaya, tetapi juga mereka yang terlalu sadar namun tak lagi peduli.
Indonesia butuh strategi nasional untuk menghadapi bentuk kecanduan baru ini.
Tanpa itu, kita akan terus menyaksikan orang-orang berpendidikan, terlihat waras, tapi tega mencuri, menipu, bahkan menghancurkan hidup orang lain hanya demi memuaskan dorongan adiktifnya.