Banyak kalangan menilai, lebih bijak Presiden tak hadir di acara ini.
Hal tersebut, mengingat ketiadaan pengesahan dari Kemenkumham (saat ini Kementerian Hukum, Imigrasi, dan Pemasyarakatan – red) terhadap kedua kepengurusan pusat PWI.
Meski demikian, kedua kubu kepengurusan PWI menyebarkan berita bahwa Presiden Prabowo Subianto akan hadir di HPN 2025 di tempat penyelenggaraan HPN versi masing-masing.
Seruan untuk Evaluasi dan Revisi Keppres
Menanggapi persoalan ini, sejumlah pihak mengusulkan agar merevisi HPN agar lebih inklusif dan tidak hanya mengakomodasi kepentingan PWI semata.
Salah satu alternatif yang muncul adalah menetapkan 23 September sebagai Hari Pers Nasional, bertepatan dengan sahnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menandai era kebebasan pers di Indonesia.
Alternatif lain adalah 13 Desember, yang merujuk pada berdirinya Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara pada 1937.
Lahirnya Antara menurut Arief lebih merepresentasikan sejarah panjang pers nasional ketimbang sekadar perayaan ulang tahun satu organisasi.
“Jika pemerintah benar-benar ingin menegakkan kebebasan pers dan keadilan bagi seluruh organisasi wartawan, Keppres No. 5 Tahun 1985 harus mendapat peninjauan ulang. Jangan sampai perayaan ini terus menjadi ajang pemborosan anggaran untuk satu pihak saja,” kata Arief menutup pernyataannya.
HPN 2025: Tetap Berjalan dengan Dana Besar
Meski kritik terus bermunculan, perayaan HPN 2025 tetap berlangsung di Kalimantan Selatan dengan dana yang tak sedikit.
Acara puncak berlangsung di Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, Banjarbaru, pada 9 Februari.
Perhelatan ini, mengusung tema “Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa” dengan slogan “Kalsel Gerbang Logistik Kalimantan.”
Logo HPN tahun ini masih menampilkan bekantan, primata khas Kalimantan Selatan.
Dalam logo tersebut, sang maskot mengenakan pakaian adat Banjar, menggenggam pena dan seikat padi.
Namun, di balik perayaan ini, kritik tetap mencuat: apakah HPN akan terus menjadi perayaan eksklusif yang mendapat kucuran dana dari negara?
Ataukah pemerintah berani mengevaluasi kebijakan ini, agar lebih adil bagi seluruh insan pers?