Tiga Tahun Sekolah Alternatif Ciamis: Di Tengah Perayaan, Negara Masih Absen

Di Tepi Alun-Alun, Anak-Anak Belajar Meski Negara Tak Melihat

Sekolah Alternatif Ciamis, 3 Tahun Berjuang Tanpa Lirikan Negara

Polisi dari Polres Ciamis juga datang, bukan untuk menertibkan, tapi mendengarkan.

“Anak-anak ini bukan masalah sosial. Mereka adalah potensi,” kata KBO Binmas Polres Ciamis, Amru.

“Kami ingin melindungi, bukan mengusir” ujarnya.

Kolaborasi juga datang dari Sekolah Motekar, lembaga pendidikan berbasis komunitas yang berbagi semangat serupa.

Deni Weje, rektornya, menyebut bahwa pendidikan itu dinamis dan fleksibel.

“Pendidikan harus lentur dan berpihak. Kami percaya bahwa ruang belajar bisa hadir di trotoar, taman, bahkan di tengah pasar” tegasnya.

Mahasiswa Tak Hanya Bicara, Tapi Turun Tangan

Gerakan mahasiswa, dari PMII Ciamis dan Universitas Galuh juga ambil bagian.

Mereka tidak hanya berdiskusi di kampus, tapi hadir di trotoar, di antara anak-anak yang biasa mereka lupakan.

“Gerakan kami bukan soal gagasan besar, tapi tentang keberanian hadir di tempat paling sepi,” kata Muhamad Rifai, Ketua PMII Ciamis.

Senada dengan Rifai, Ketua Kopri PMII Universitas Galuh, Intan, menambahkan, “Setiap anak itu unik. Kita tidak sedang mengajar, kita sedang membersamai.”

Sekolah Jalanan yang Menggugah Nurani

Hari itu, anak-anak menggambar mimpi di atas kertas bekas.

Mereka menuliskan cita-cita: ingin jadi guru, dokter, bahkan polisi.

Di tengah keterbatasan, mereka tak kehilangan harapan.

Relawan tak hanya mengajar, tapi juga belajar tentang ketabahan, keberanian, dan arti pendidikan sesungguhnya.

Tiga tahun perjalanan Sekolah Alternatif menjadi tamparan bagi sistem yang gagal menjangkau semua.

Ini bukan proyek belas kasih.

Ini juga bukan gerakan sunyi yang menolak menyerah.

Di Ciamis, pendidikan tidak selalu hadir lewat bangunan megah.

Kadang, ia tumbuh dari tikar lusuh di bawah pohon, dari papan tulis kayu, dan dari hati yang tak rela melihat satu anak pun tertinggal.