Tragedi Mei 1998 dan Luka Kolektif: KOPRI Galuh Gugat Ucapan Fadli Zon

Diskusi ini bukan sekadar agenda tahunan, melainkan panggilan untuk membangun kesadaran sejarah yang lebih jujur dan kritis.

banner 468x60

DiksiNasi, Ciamis — Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tragedi rudapaksa Mei 1998 sebagai “isu tanpa bukti dan tidak tercatat dalam sejarah resmi” memantik gelombang kritik.

Di Ciamis, KOPRI PK PMII Universitas Galuh bersama KOPRI se-Ciamis dan Pangandaran menjawabnya dengan cara elegan: diskusi publik bertajuk Bincang KOPRI Ciamis-Pangandaran, membedah ulang peristiwa gelap yang hingga kini menyisakan luka bangsa. Jum’at, (27/06/2025).

Mira Miranti, Wakil Ketua I Bidang Kaderisasi KOPRI PC PMII Ciamis-Pangandaran memandu diskusi tersebut.

Kegiatan ini juga, menghadirkan para Ketua KOPRI Komisariat dari berbagai kampus di dua kabupaten.

Mereka membongkar narasi tandingan yang lebih dekat dengan realitas sejarah, bukan sekadar pendapat elit politik.


Kekerasan Seksual Bukan Isu Khayalan

Nova Merisa, Ketua KOPRI STIT NU Al-Farabi Pangandaran, secara tegas menyatakan bahwa kerusuhan Mei 1998 tidak hanya soal krisis moneter atau pergolakan politik.

“Itu juga meninggalkan luka mendalam berupa kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama etnis Tionghoa,” ungkapnya.

Nova menyoroti pembungkaman terhadap para relawan yang membantu korban saat itu.

Namun, katanya, kebenaran tidak bisa terus dibungkam.

“Laporan TGPF dan lahirnya Komnas Perempuan menjadi bukti otentik bahwa kekerasan seksual benar-benar terjadi dan terdokumentasi,” tambahnya.


Kekerasan Terstruktur dan Bias Ganda

Dalam pandangan Sadiyah Nurul Fitri, Ketua KOPRI Universitas Islam Darussalam, tragedi itu merupakan bentuk kekerasan seksual terstruktur yang sangat sarat bias gender dan etnis.

Ia mengajak peserta melihat peristiwa ini melalui pendekatan interseksionalitas.

“Perempuan Tionghoa saat itu mengalami penindasan berlapis—baik sebagai perempuan maupun sebagai minoritas,” kata Sadiyah, seraya mengutip teori Kimberlé Crenshaw.

Ia juga menyinggung peran penting para pejuang perempuan seperti Ita Nadya (TRKP/TGPF) dan Sri Palupi (Tim Asistensi), yang berhadapan langsung dengan korban dan tidak jarang mendapat teror karena keberaniannya.


banner 336x280