DiksiNasi, Ciamis – Di tengah geliat spiritual masyarakat desa, muncul praktik baru yang dinilai menggeser makna ibadah: kenclengisasi.
Sebuah istilah yang belakangan menggema di ruang-ruang diskusi kritis, mengarah pada fenomena penghimpunan infak secara terstruktur dan nyaris wajib, seperti terjadi di Kabupaten Ciamis.
Istilah “kenclengisasi” yang awalnya bersifat simbolik kini menjadi representasi konkret dari kekhawatiran publik terhadap praktik infak kolektif yang dibungkus sistem birokratis.
Menjadi hangat, tatkala muncul Forum Grup Diskusi (FGD) bertajuk “Kenclengisasi Infak, Komersialisasi Ibadah?”
Bidang Keagamaan PC PMII Ciamis, menghelat forum diskusi yang menjadi panggung kritik terhadap praktik tersebut.
Antara Pahala dan Prosedur Administratif
Dalam forum tersebut turut hadir kader PMII, akademisi, tokoh masyarakat, dan perangkat desa.
Forum, membahas bahwa narasi “kenclengisasi” terurai sebagai proses domestikasi spiritual ke dalam sistem administratif.
Ketua Bidang Keagamaan PC PMII Ciamis, Heman Firmansyah, menyebut fenomena ini sebagai pergeseran nilai ibadah ke arah kewajiban tak tertulis.
“Infak yang mestinya lahir dari kesadaran, kini seperti kewajiban yang terpatok oleh sistem. Ada semacam eksploitasi nilai ibadah melalui mekanisme struktural,” kata Heman.
Menurutnya, penyusupan kencleng dalam sistem desa sebagai alat infak rutin telah menimbulkan ambiguitas antara ibadah ikhlas dan kewajiban administratif.
Lebih jauh, ia menyebut praktik ini tak ubahnya bentuk “komersialisasi spiritual” yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beribadah.
Beban Sosial dari Ketaatan yang Terpaksa
Alih-alih mendorong kebaikan kolektif, kenclengisasi justru menghadirkan tekanan sosial.
Aldi Risky Magribi, yang memoderatori diskusi, mengungkap adanya warga yang merasa tidak enak menolak ajakan infak karena terjadi secara kolektif dan mendapat legitimasi dari aparat desa.
“Beberapa warga mengaku terbebani. Dibilang sukarela, tapi kenyataannya seperti kewajiban moral. Ada tekanan, meski tanpa paksaan eksplisit,” ungkap Aldi.
Warga desa yang hadir, termasuk mahasiswa dan pengurus RT, menyampaikan testimoni senada.
Mereka membayar infak bukan lagi karena kesadaran ibadah, melainkan demi menjaga relasi sosial dan menghindari cibiran lingkungan.