DiksiNasi, Ciamis – Di tengah tekanan fiskal dan terus membengkaknya kebutuhan pembangunan, Pemerintah Kabupaten Ciamis dihadapkan pada persoalan pelik: defisit anggaran yang belum juga terselesaikan.
Gedung DPRD Kabupaten Ciamis berdiri megah.
Di dalamnya, para wakil rakyat duduk nyaman, mengemban amanah konstituen.
Namun di luar tembok itu, muncul suara-suara lirih yang mulai meninggi.
Bukan karena marah tanpa sebab, melainkan karena publik merasa hak dan harapan mereka tak sebanding dengan fasilitas yang dewan nikmati.
Pemerintah Kabupaten Ciamis telah menetapkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 7 Tahun 2020, revisi dari dua regulasi sebelumnya, yang mengatur hak keuangan dan administratif anggota dewan.
Dalam aturan itu, termuat jelas berbagai jenis tunjangan: rumah, transportasi, honorarium, hingga uang kehormatan.
Tiap anggota dewan, berdasarkan informasi dari pemerhati sosial Dedi Setiabudi, bisa mengantongi tunjangan rumah minimal Rp8 juta per bulan.
Belum termasuk tunjangan transportasi yang rata-rata mencapai Rp9 juta.
“Untuk dua item itu saja, mereka sudah bisa membawa pulang belasan juta tiap bulan. Pertanyaannya: apa kontribusi riil yang kita rasakan dari kinerja mereka?” tanya Dedi, serius.
Rumah Dinas Dibiarkan, Tunjangan Tetap Jalan
Dedi menyoroti satu celah yang jarang menjadi pembahasan: anggota DPRD yang tak menempati rumah dinas tetap mendapat tunjangan rumah.
“Ini bukan soal legal atau tidak, tapi soal moral dan efisiensi. Kalau rumah dinas tidak digunakan, mengapa uang tunjangannya tetap cair?” katanya.
Menurutnya, jarak rumah ke kantor menjadi faktor yang memengaruhi produktivitas.
“Kalau tinggal jauh, energi habis di jalan. Waktu habis untuk perjalanan. Bagaimana mereka bisa efektif melayani rakyat?” tegas Dedi.