DiksiNasi, Ciamis – Di tengah riuh rendah dunia yang makin gaduh oleh suara-suara yang saling menindih, ada satu nama yang bukan nama.
Diksinasi bukanlah sosok, bukan pula manusia namun ia adalah jelmaan dari jeritan hati yang tak mampu dituliskan oleh mereka yang tertindas dan terlupakan.
Ia adalah gema dari ruang kosong yang selama ini hanya jadi gema.
Diksinasi lahir dari debu keresahan dan desir nurani yang terinjak diam-diam.
Ia bukan milik siapa pun, tapi hidup di mana-mana: di bangku rapuh guru desa, di kantong sobek pedagang pasar, di ruang kerja birokrat yang masih jujur, hingga di mimbar-mimbar yang lupa pada akar.
Sebuah Narasi, Bukan Nama
Diksinasi adalah bahasa hati yang memilih untuk tidak bungkam.
Ia mengendap dalam tulisan yang kadang jenaka, kadang getir, tapi selalu bermakna.
Ia tak pernah hadir untuk dipuja, namun untuk mengingatkan.
Di setiap paragraf yang ia lintasi, Diksinasi menyerupai tangan yang mengetuk: “Apakah kamu masih waras di tengah segala absurditas ini?”
Lewat kanal Bang Sufi, ia merambat sebagai narasi lintas ruang dan waktu.
Tokoh fiktif seperti Mama Rohel bukan sekadar fiksi, tapi cermin bagi kita semua.
Cermin yang bisa retak, tapi justru karena itulah ia memantulkan kebenaran dari berbagai sudut.
Suara yang Menyusup Tanpa Terlihat
Tak seperti opini kebanyakan yang mengejar sensasi dan lalu menguap, Diksinasi menyusup perlahan, menyentuh titik-titik yang sulit dijangkau oleh retorika dan jargon.
Ia tidak membujuk, tidak menggurui.
Ia hadir seperti desir angin yang membawa bau tanah basah: membangunkan kenangan dan kesadaran.
Ia mengajak kita merenung bukan dalam sunyi yang pasif, tapi dalam diam yang aktif.
Sebab diam bukan berarti menyerah, dan menulis bukan selalu soal kata-kata indah.