Membedah Merah Putih: One For All Ketika Rp 6,7 Miliar Berakhir di Layar Bioskop yang Setengah Jadi

Kontroversi Film Animasi Merah Putih: One For All, Antara Kritik Pedas dan Restu LSF

banner 468x60

DiksiNasi, JakartaDi atas kertas, Merah Putih: One For All tampak seperti proyek besar yang dirancang untuk mengangkat martabat animasi Indonesia.

Bertema nasionalisme, biaya produksi yang kabarnya mencapai Rp 6,7 miliar, dan melibatkan sejumlah pihak penting di industri film.

Namun, pada 14 Agustus 2025, saat film ini resmi tayang, publik justru terkejut dengna kualitas yang mereka nilai jauh di bawah ekspektasi.

Bahkan, sutradara kawakan Hanung Bramantyo, usai menonton langsung di XXI Kemang Village, tak segan menyebut film ini “belum selesai tapi dipaksakan tayang”.

Dari Ambisi Nasionalisme ke Sorotan Publik

Film ini mengangkat kisah sekelompok anak yang tergabung dalam Tim Merah Putih, penjaga bendera pusaka yang hilang tiga hari sebelum upacara 17 Agustus.

Narasinya menjanjikan pesan patriotisme, lengkap dengan petualangan melintasi hutan dan sungai.

Namun, bagi sebagian penonton, daya tarik cerita kalah oleh rasa penasaran: apakah benar film yang mencapai biaya miliaran rupiah ini memiliki kualitas grafis yang layak menjadi karya nasional?

Andrew (40) bersama dua rekannya, Resta (24) dan Dika (28), mengaku datang untuk “menguji” kualitas tersebut.

“Saya takut ini jadi lost media. Di YouTube resolusinya kecil, di bioskop kan kelihatan semua detailnya,” ujar Resta. Kamis, (14/08/2025).

Dika justru melihatnya sebagai kesempatan langka untuk membandingkan puncak dan jurang animasi Indonesia.

“Kita sudah lihat era emasnya lewat Jumbo, sekarang kita lihat titik nadirnya,” ujarnya.

Tanda Tanya Besar soal Tata Kelola Produksi

Pernyataan Hanung Bramantyo menjadi pintu masuk pertanyaan lebih besar: bagaimana sebuah film dengan anggaran setinggi itu bisa tayang dalam kondisi setengah matang?

“Hasil akhir di bioskop adalah tanggung jawab kolektif: sutradara, produser, penulis skenario, penyandang dana,” tegas Hanung.

Ia juga menyoroti potensi preseden buruk jika proyek seperti ini menjadi acuan.

“Nilainya Rp 6 miliar lebih, patut melakukan audit,” katanya.

Dalam industri kreatif, tekanan untuk memenuhi jadwal rilis sering kali menjadi alasan utama mempercepat proyek.

Namun, jarang ada yang membicarakan dampaknya: kredibilitas pembuat film yang taruhannya bukan hanya reputasi, tapi juga kepercayaan publik.

banner 336x280