“Mama Rohel, aslina kaula nelangsa, sanes Alun-alun hungkul anu dikuasai secara privat, tapi semua tanah wakaf diredis hingga berubah menjadi hak milik pribadi. Puluhan hektar tanah di sekitar Gunung Galuh teh kaula wakafkeun jang syiar Islam, cobi tingali ayeuna sadayana janteun milik pribadi. Eta juga kebijakan negeri anyar anu mirip Mataram. Ujug-ujug mencaplok tanpa kompensasi ka rundayan kaula,” ujar Kanjeng Prebu.
Kembalikan Fungsi Alun – alun
Mama Rohel mengangguk dan menimpali penjelasan Kanjeng Prebu.
“Kanjeng Prebu, kedah kumaha manawi sangkan Alun-alun kembali fungsina jang karamaian masyarakat? ”
Kanjeng Prebu menjawab, ” Sok we ditata tapi ulah jadi taman , biarkan tetap lapangan terbuka untuk interaksi bangsawan dan rakyat jelata. Jangan menjadi ekslusif dan lahan keramat. Lalu ada larangan menginjak rumput. Yang menginjak dan merusak rumput kena denda. Kalau mau bikin taman cari lahan baru bukan merusak fungsi Alun-alun,”
Mama Rohel pun mengulas berita yang berkembang.
Menurut penuturan warga, biang kerok penataan Alun-alun adalah penguasa negeri sebelah.
Memang hasilnya indah dan menawan, tapi fungsi sosial ekonomi jadi terlupakan.
Atas nama menjaga kebersihan dan mempertahankan Adipura, Alun-alun kini berubah menjadi kuburan.
Sepi dan senyap bagaikan makam keramat.
Fungsi sebagai area publik hilang tak jauh beda dengan taman bermain.
“Kanjeng Prebu, itu berita yang berkembang di masyarakat. Kami juga ingin mengembalikan fungsi Alun-alun seperti zaman Kerajaan Galuh, Mataram dan Cirebon,” ujar Mama Rohel sambil menutup obrolan pagi bersama Kanjeng Prebu.