Part 130: Lebaran Tersedih, Dijerat Efisiensi dan Defisit

Uang semakin langka, sementara harga kebutuhan pangan melonjak tajam.

banner 468x60

DiksiNasi, Cikarohel – Kampung Cikarohel terasa muram durja.

Langit mendung, tapi hujan tak juga turun.

Suasana Lebaran sulit ditafsirkan.

Setiap orang memendam kepedihan sesuai derajat sosialnya.

Ratusan orang memadati pendopo Adipati.

Mereka bukan karyawan, bukan pula keluarga Kanjeng Prebu.

Orang-orang itu berdesakan dan mengantre panjang.

“Kami mau cuan Lebaran… Kanjeng Prebu, beri kami uang… beri kami uang!” teriak beberapa orang yang mengantre.

Seorang lelaki kurus merangsek ke depan.

“Abi heula… abi heula!” serunya.

Tatapan para pemburu uang tampak penuh selidik.

Tahun ini benar-benar terasa nelangsa.

Uang semakin langka, sementara harga kebutuhan pangan melonjak tajam.

Di sudut pendopo, Mama Rohel dan Kanjeng Prebu tengah berdiskusi.

Dua tokoh penting ini memutar otak, mencari cara untuk bangkit dari keterpurukan.

“Defisit belum juga usai, efisiensi sudah menanti. Bantu berpikir, Ma, agar dapur rakyat tetap ngebul,” ujar Kanjeng Prebu sambil menatap langit cerah.

Mama Rohel terdiam sejenak.

Ia membayangkan Lebaran kali ini tak akan semeriah sebelumnya.

Jangankan memikirkan negeri tercinta, untuk dirinya sendiri saja masih belum terbayang.

Di sudut kampung, suara beduk bertalu-talu. Anak-anak berlarian menyalakan mercon.

Itu pertanda, esok umat Islam akan merayakan Idulfitri.

Mama Rohel hanya memiliki reginang dan cheesestick buatan Nyi Imas.

Sarungnya masih sarung batik Keraton Kanoman.

Ia menikmati semua apa adanya, tanpa memaksa meminta THR kepada para pembesar negeri.

Lamunan Mama Rohel buyar saat Kanjeng Prebu mengucapkan selamat boboran siam.

“Hapunten, Kanjeng Prebu, bilih aya kalepatan salami ieu. Minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan batin,” ucap Mama Rohel dengan tulus.

banner 336x280