Dilema Sosial di Tingkat Bawah: Bansos Jadi Sumber Konflik
Ade Mahmudin mengaku kerap menerima protes dari warga terkait ketimpangan penerima bansos.
Ada warga yang sudah pindah selama lima tahun tapi masih menerima, sementara tetangganya yang hidup lebih sulit tidak masuk daftar.
“Ada warga saya yang curhat karena dia tidak dapat apa-apa, sementara orang yang rumahnya pakai keramik, motor dua, masih dapat. Ini jadi sumber konflik di kampung,” jelasnya.
Menurut Ade, perlu keterlibatan penuh pemerintah daerah dalam mendengar laporan dari verifikator.
Ia menekankan pentingnya musyawarah desa yang betul-betul diperhatikan pemerintah pusat.
Perlu Desentralisasi Pengambilan Keputusan
Sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, proses pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) memang berada di tangan pemerintah kabupaten/kota.
Namun, di banyak wilayah, proses ini tidak berjalan aktif.
“Kementerian Sosial tidak melakukan pendataan langsung. Tapi kalau daerah juga tidak aktif, siapa yang bantu masyarakat kami?” ujar Ade dengan nada prihatin.
Ia berharap ke depan, proses pemutakhiran data tidak hanya mengandalkan algoritma, tapi juga kembali pada musyawarah lokal sebagai basis keadilan sosial.
Harapan untuk Masa Depan Bansos yang Lebih Berkeadilan
Verifikator tingkat bawah menuntut keadilan distribusi, bukan hanya pembaruan data.
Bagi mereka, bansos bukan sekadar bantuan material, tapi tolak ukur kehadiran negara di saat warganya kesulitan.
“Kalau hanya mengandalkan pusat tanpa dengar suara kami, jangan harap bansos bisa tepat sasaran,” tutup Ade Mahmudin.
Komentar