“Ketika berbicara soal pelanggaran HAM yang berat, sampai saat ini Undang-Undang yang ada mengharuskan penyelesaiannya lewat yudisial. Untuk peristiwa sebelum tahun 2000, harus melalui persetujuan DPR untuk pembentukan pengadilannya. Setelah tahun 2000 bisa langsung ke Pengadilan HAM” papar Beka.
“Namun tidak menutup kemungkinan dapat selesai dengan jalur non yudisial menggunakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sepanjang ada kemauan politik dari Pesiden,” tambah Beka.
Komnas HAM RI telah menyelesaikan 12 berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, banyak dari kasus ini masih menunggu langkah-langkah selanjutnya, termasuk penyidikan oleh jaksa.
Beka menggarisbawahi bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat umumnya melalui jalur yudisial. Namun, ia juga menyebutkan bahwa jalur non-yudisial seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bisa menjadi alternatif jika ada kemauan politik dari pemerintah.
Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dan Reformasi Dikorupsi yang terjadi pada 2019 masih menjadi sorotan.
Kasus Munir belum dapat masuk sebagai pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, yang mengharuskan unsur sistematis dan/atau meluas.
Sedangkan untuk Reformasi Dikorupsi, Komnas HAM RI telah memberikan rekomendasi kepada aparat kepolisian dan penegak hukum untuk memastikan keadilan tercapai.
Selain upaya hukum, Beka juga menyoroti perlunya pendampingan korban pelanggaran HAM berat. Korban sering kali mengalami trauma yang mendalam, dan Komnas HAM RI menyediakan mekanisme untuk memberikan pengakuan atas penderitaan mereka melalui surat keterangan korban pelanggaran HAM (SKKP HAM).
“Korban bisa mengajukan permohonan ke Komnas HAM untuk diterbitkan SKKP HAM. Setelah dari Komnas HAM, korban bisa membawa surat tersebut ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sehingga mereka berhak mendapat layanan bantuan medis dan psikososial,” ulas Beka.
Namun, hingga saat ini, belum ada upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Ini membutuhkan tekanan dan partisipasi aktif dari publik untuk memastikan bahwa keadilan memang masih ada.
“Meskipun sejak periode pertama Presiden sudah menyampaikan komitmennya akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat. Kita butuh tekanan dan partisipasi publik yang lebih banyak,” pungkas Beka.