DiksiNasi, CIAMIS — Dua kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak kembali menggemparkan Kabupaten Ciamis.
Pelaku dalam dua kasus berbeda ini bukan orang asing, melainkan orang terdekat korban: ayah kandung dan ayah tiri.
Fakta ini menegaskan bahwa kejahatan terhadap anak sering kali tersembunyi di balik relasi personal yang penuh kepercayaan.
Lingkaran Kepercayaan yang Terkhianati
Dalam kasus pertama, seorang pria berinisial S (42) diduga melakukan pelecehan berulang terhadap anak kandungnya, DH (12).
Aksi tidak bermoral itu terjadi setelah korban memilih tinggal bersama ayahnya pasca perceraian orang tua.
“Korban semula tinggal dengan ibunya, tetapi kemudian berpindah ke rumah ayahnya setelah ibunya menikah lagi.
Di sinilah pelaku mulai melakukan tindakan tidak pantas terhadap anaknya sendiri,” kata Kapolres Ciamis, AKBP Akmal, dalam konferensi pers. Senin, (26/05/2025).
Selama kurun waktu 2023–2024, dugaan tindakan tersebut dilakukan hingga belasan kali.
Kasus ini baru terungkap setelah korban bercerita kepada tetangganya, yang kemudian meneruskan informasi ke ibu korban dan pihak kepolisian.
Pelaku diamankan sehari setelah laporan resmi diterima pada 20 Mei 2025.
Perlindungan Sosial yang Rapuh di Rumah Sendiri
Kasus kedua tak kalah mencengangkan.
Seorang tokoh agama berinisial MAM (57), warga Kecamatan Baregbeg, kuat dugaan melakukan pelecehan terhadap dua anak perempuan: anak tirinya sendiri dan teman anaknya yang sedang menginap.
“Kejadian bermula saat salah satu korban menginap untuk sahur bersama. Pelaku masuk ke kamar dengan dalih membangunkan, tetapi justru melakukan tindakan melanggar norma kesusilaan,” jelas AKBP Akmal.
Salah satu korban sempat menceritakan kejadian tersebut kepada keluarganya, namun tidak dilaporkan secara hukum karena adanya hubungan kekeluargaan dengan istri pelaku.
Kasus ini baru mencuat ke publik ketika anak tiri pelaku diketahui hamil dan mengaku pernah dilecehkan oleh ayah tirinya.
Polisi kemudian menetapkan MAM sebagai tersangka dan menahannya pada 13 Mei 2025.
Kedua pelaku kini terjerat dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.