DiksiNasi, PONTIANAK – Proyek digitalisasi jaringan internet antarlembaga pemerintah di Kalimantan Barat, yang sejatinya digadang-gadang sebagai lompatan teknologi pelayanan publik, justru menjelma menjadi jebakan hukum bagi pejabatnya.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kalimantan Barat (Kominfo Kalbar) berinisial S resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Kejaksaan Negeri Pontianak dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan jaringan serat optik tahun anggaran 2022.
Proyek ini awalnya digelar untuk membangun konektivitas digital bagi 50 organisasi perangkat daerah (OPD) dengan nilai anggaran mencapai Rp5,7 miliar.
Namun, dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan dan penunjukan langsung penyedia barang menjadi titik kritis yang kini menyeret dua nama: Kadis Kominfo S, dan pelaksana proyek dari swasta berinisial AL.
“Kami sudah melakukan pelimpahan tahap dua, termasuk barang bukti dan kedua tersangka ke jaksa penuntut umum. Keduanya dalam penahanan selama 20 hari ke depan di Rutan Kelas IIA Pontianak,” ujar Kepala Seksi Intelijen Kejari Pontianak, Dwi Setiawan Kusumo. Selasa, (29/04/2025).
Proses hukum ini menguak fakta mencemaskan: menunjuk langsung PT Borneo Cakrawala Media sebagai penyedia sejak Desember 2021, tanpa melalui prosedur lelang sebagaimana tercantum dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Serat Optik, Transparansi yang Gagal?
Proyek pengadaan jaringan internet antarlembaga yang Dinas Kominfo Kalbar lakukan sejak 2021 tersebut awalnya menjadi proyeksi tulang punggung komunikasi digital pemerintah daerah.
Namun investigasi Kejari menunjukkan bahwa proses pelaksanaannya menyimpang dari tata kelola yang seharusnya transparan dan akuntabel.
“Pengadaan seharusnya berlangsung melalui mekanisme lelang. Tapi fakta di lapangan menunjukkan penunjukan langsung tanpa dasar yang sah. Ini yang menjadi dasar kuat penetapan tersangka,” ungkap Kasi Pidsus Kejari Pontianak, Salomo Saing.
Salomo menjelaskan, proyek ini bermula dari pembelanjaan e-katalog pada 2021 dengan anggaran lebih dari Rp6 miliar.
Projek tersebut, berlanjut kemudian di 2022 dengan pagu Rp5,7 miliar.
Dugaan kerugian negara akibat proyek ini menurut taksiran, mencapai lebih dari Rp3 miliar.